List - 13

89.3K 13.9K 666
                                    

"Kan," panggilan Roman itu mengalihkan perhatian gue dari jendela kantor. "Bengong aja lo."

Melamun itu kegiatan nggak penting yang paling nyenengin buat orang-orang yang kerja di bidang kreatif. Karena dari bengong itulah kadang kesambet inspirasi. Seenggaknya itu yang sering gue alami.

"Lagi mikir," gumam gue.

"Mikirin Nada?"

Gue nggak menjawab.

"Masih usaha?"

"Nggak juga," jawab gue.

Yeah, gue milih buat mundur aja pelan-pelan. Nggak ada perkembangan apa pun dari sejak kencan di Burger King berminggu-minggu lalu. Isi chat juga lebih basi dari nasi yang udah didiemin seminggu di luar rice cooker. Tadinya gue berharap bakal beda. Ternyata, PDKT kali ini cuma nambahin daftar 'gagal ke KUA' kayak PDKT-PDKT sebelumnya.

Gue mulai nggak ngerti bentuk cewek gimana lagi yang harus gue coba deketin.

Seminggu terakhir, gue sengaja nggak ngirim chat ke Nada. Kayak yang udah gue tahu, dia juga nggak ngirim apa-apa ke gue.

Sejujurnya, pikiran gue belakangan lagi sering disalip oleh sebuah undangan putih yang sekarang tergeletak di laci paling bawah meja kerja gue. Undangan sialan yang gue terima seminggu lalu. Roman tahu, gue yakin dia juga udah nerima undangan itu. Dan gue bersyukur dia bisa nahan diri buat nggak jadiin itu sebagai lelucon.

Apa pun yang berhubungan sama cewek yang namanya tertera sebagai calon mempelai di undangan itu, nggak ada yang lucu buat gue.

"Mau ikut makan siang di luar nggak?" tawar Roman.

"Nggak deh. Gue minta Supri aja ntar beli di depan."

"Oke kalo gitu. Gue sekalian mau anter Raya ke dokter. Balik kantor agak telat ntar."

"Raya sakit apa?"

Roman menggeleng, tersenyum kecil. Bukan senyum songong bin rese yang biasa gue lihat. Terakhir kali gue lihat dia senyum kayak malu-malu kambing gitu pas dia ngabarin mau nikah.

"Cek kandungan," ujarnya, mesem-mesem agak najis, tapi nggak ngurangin binar bahagia di wajahnya.

Gue otomatis ikut senyum lebar. "Akhirnya... ada isinya tuh benda ternyata. Kirain gelantungan kosong doang," ledek gue. "Udah berapa bulan?"

"Kampret lo," balas Roman, masih dengan ekspresi sok manisnya. "Masuk enam belas minggu. Sengaja nggak cerita ke luar sebelum empat bulan, pamali kata Nyokap."

Pantes dia beberapa kali izin keluar di luar jadwal kerja. Gue pikir emang lagi doyan bolos. Kayak gue.

"Congrats, Man," ucap gue. "Salam buat Raya."

"Yakin nggak ikut makan?"

Gue menggeleng mantap. Udah cukup gue gangguin mereka pas mau prewed, karena pengin ikut liburan. Kali ini, gue mau kasih mereka kesempatan happy berdua doang.

Roman nggak maksa, memilih bergegas pergi. Raya sebelum hamil aja gampang ngamuk kalau dia telat, apalagi pas hamil. Gue nggak berani bayangin gimana nasib Roman di rumah. Zaman Atsha hamil, gue yang jadi korban tingkah ajaibnya karena Bisma masih di Kalimantan. Itu kayak yang ngehamilin siapa, yang tanggung jawab siapa.

Situasi yang sebenernya nggak asing-asing banget buat gue.

Sendirian di ruangan ini bikin gue kembali memikirkan undangan sialan itu. Kayaknya mending gue buang, biar nggak bolak-balik muncul di otak gue kayak hantu.

Gue menarik laci paling bawah, mengeluarkan undangan dari sana, dan meletakkannya di meja. Berapa kali pun gue coba melototin tulisan di sana, nama calon pengantinnya nggak akan berubah.

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Where stories live. Discover now