List - 10

95.9K 14.6K 809
                                    

Sejak resmi balik ke pasaran dua tahun lalu, gue beberapa kali coba PDKT sama cewek. Sayangnya, nggak ada yang bisa diseriusin. Terlalu kaku, terlalu kayak anak kecil, sampai yang terakhir, jauh lebih matre dari gue. Gue sih nggak masalah sama cewek yang minta beliin macam-macam, selama gue mampu dan ada status jelas. Kalau belum apa-apa udah main minta gesek kartu kredit dari butik ke butik di tiap mall Jakarta, makasih banyak. Mending duitnya gue pakai cari dukun paling canggih buat ngirim pelet ke Gal Gadot.

Gal Gadot tuh biasa aja sih. Bibirnya yang luar biasa banget. Nggak ada obat seksinya.

Gue berkali-kali mengingatkan diri buat nggak bertingkah norak hari ini. Jangan sampai Nada, yang setelah berapa kali nolak ajakan makan siang gue dengan alasan lagi banyak pesanan, nyesel udah nerima ajakan gue siang ini.

Yeah, gue pikir setelah dapat nomor hapenya, semua akan mulus buat gue. Ternyata, salah besar. Dia nanggepin kalau gue nge-chat iseng. Walaupun kadang gue chat pagi, dia baru bales pas magrib, nggak apa-apa. Toh itu cuma pas awal. Dua hari belakangan dia balasnya jeda sejam doang. Kemajuan kan itu?

Dari sana gue tahu kalau perjuangan gue kayaknya masih panjang.

Mobil gue berhenti di depan toko milik Nada. Dari awal ke sini, gue udah suka aja sama tempat ini. Walaupun ada di tengah kota, tapi ngasih kesan damai pas udah di dalam. Hiruk pikuk di luar nggak kedengeran lagi. Gue mematikan mesin mobil, lalu beranjak turun.

Bukan Nada yang gue lihat ada di balik etalase, begitu gue memasuki tempat itu. Mungkin salah satu pegawainya, kalau dilihat dari kaus berkerah yang dipakai. Ada tulisan nama toko di bagian dada kanannya.

"Siang. Cari apa, Kak?" sapa pegawai itu, ramah.

"Cari Nada," jawab gue.

"Oh... Mas Okan, ya?"

Gue mengangguk. Dalam hati udah bersiap angkat kaki dari sini. Mungkin Nada berubah pikiran, tapi nggak enak mau batalin langsung depan gue. Jadi dia minta pegawainya yang bilang, supaya gue segera cabut dan nggak ganggu dia lagi.

"Kak Nada di belakang. Tadi pesen kalau Mas Okan dateng suruh tunggu sebentar. Nanggung katanya."

Diam-diam, gue menghela napas lega karena nggak diusir. "Lagi bikin keramik, ya?" tanya gue, penuh minat.

Gantian pegawai itu yang mengangguk. "Mug buat suvenir. Kak Nada lagi bikin contoh, biar yang lain bisa langsung ngerjain hari ini."

"Saya boleh lihat, nggak?"

"Hah?"

"Dikit aja. Janji nggak bakal ganggu."

Raut wajah pegawai itu tampak ragu sejenak. Tapi kemudian dia menunjuk ke arah gorden berwarna marun. Saat mendekat, gue menemukan sebuah pintu kayu di baliknya. Berusaha nggak menimbulkan suara sekecil apa pun, gue membuka pintu itu. Nggak terlalu lebar. Yang penting kasih celah sedikit biar gue bisa menyelinap.

Apa yang gue lihat kemudian, benar-benar memukau. Tumpukan kerajinan dari tanah liat yang sudah setengah jadi, barisan meja putar tempat para pekerja melakukan pekerjaan mereka, dan satu-satunya gadis yang ada di sana. Kayaknya sekarang lagi jam istirahat, karena cuma Nada yang tampak asyik dengan kegiatannya.

Gue menahan diri buat nggak mendekat, memilih tetap menjaga jarak dan melihatnya dari kejauhan. Sayangnya, gue cuma bisa melihat wajahnya dari samping. Dia mengenakan kaus putih dan jins tiga perempat yang ujungnya dilipat, lengkap dengan bandana kain dan celemek cokelat. Walaupun cuma dari samping, gue tahu dia 100% fokus pada apa yang sedang dia kerjakan.

Cewek yang punya passion, dan total ngerjain apa yang dia suka, selalu menarik buat gue.

Mata gue beneran nggak bisa lepas dari dia selama dia bekerja. Sampai kemudian gue menyadari kalau tangan kanannya sekarang kosong. Maksud gue, tangannya lagi kotor karena tanah liat, tapi jarinya kosong. Cincin terkutuk yang tempo hari gue lihat, udah nggak ada.

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Where stories live. Discover now