List - 8

93.7K 14.5K 980
                                    

"Eh... anak ganteng Ibu yang belum laku-laku udah dateng..." sapaan ramah Ibu menembus telinga gue, menusuk tepat ke hati. Cekit-cekit gimana gitu rasanya.

"Ha ha ha," balas gue, masam, tapi tetap menyambut pelukan Ibu dan mencium lembut kedua pipinya. "Selamat ulang tahun ya, Bu. Abang masih belum ada pacar tahun ini, jadi Ibu nggak usah repot nanya-nanya."

"Dih, judes amat." Ibu mengambil alih kantong kertas yang gue bawa. "Kado buat Ibu, kan?"

Gue mengangguk, mengikuti langkah Ibu ke ruang tengah. Aroma nikmat berbagai masakan khas Padang menembus penciuman gue. Aroma surga. Rendang, ayam balado, sambal ijo, sayur nangka, gulai otak... gue wajib bawa rantang ntar pas balik ke apartemen. Itu semua hasil tangan Ibu, bukan rumah makan Padang.

Keluarga gue berasal dari campuran Jawa-Minang. Bapak asli Blitar, Ibu dari Payakumbuh. Ketemu di Yogya waktu kuliah, terus akhirnya menetap di Jakarta ini.

"Abang mau bungkus ya, Bu, nanti," ucap gue, begitu kami sudah berada di dapur.

"Iya. Ibu tahu Abang belum ada yang masakin. Ibu masak banyak sengaja biar Abang bisa bawa kok."

Gue cuma cengar-cengir. Terserah apa pun selipan sindiran Ibu, yang penting gue dapat jatah makan banyak.

"Om Abang!"

Gue menoleh, melihat keponakan gue berlari mendekat. Itu emang panggilan aneh banget. Gara-gara satu rumah manggil gue 'abang', ponakan juga ikutan. Tadinya nggak pake embel-embel 'om' malah, sampe adik gue, Atsha, berhasil ngancem anak-anaknya pake kata-kata 'masuk neraka kalau nggak panggil Om', bikin mereka nyiptain panggilan ajaib itu buat gue.

Seharusnya sih panggilan buat gue tuh 'pakwo', karena gue kakak ibu mereka. Atau 'pakde'. Tapi 'om' ngasih kesan lebih muda, makanya gue mau dipanggil itu aja. Atsha nggak bisa protes kalau nggak mau kualat.

Yeah... gue tahu, kenyataan kalau gue dilangkahin adik perempuan gue nikah duluan sejak delapan tahun lalu, yang bikin Ibu makin gencar nyindir-nyindir gue biar ikutan panas terus mau nikah.

Gue bukannya nggak mau nikah. Masalahnya cuma satu. Yang bisa gue nikahin belum ketemu.

Atsha sendiri minta nikah pas masih dua puluh tahun, kuliah semester lima, sementara pacarnya waktu itu baru selesai wisuda. Sumpah, gue pikir dia hamil, makanya ngotot minta dinikahi. Gue udah hampir banget hajar pacarnya, yang sekarang jadi suaminya. Dia sumpah-sumpah masih perawan, sampe beli testpack buat mastiin nggak hamil. Ternyata mau nikah karena Bisma dapat kerjaan yang mengharuskan dia ke Samarinda sekitar dua tahun, baru ditempatin di Jakarta. Adik gue yang keras kepala luar biasa itu nggak mau LDR tanpa ikatan, Bisma dan keluarganya juga udah siap ngelamar, orangtua gue pun ngasih restu. Daripada si Atsha nekat kawin lari.

Gue dapat pelangkahan dong. Emas berapa karat waktu itu, lupa. Dan udah gue jual. Duitnya nggak tahu habis buat apaan. Yang jelas, Ibu sempat ngomel panjang pas tahu emasnya udah balik ke toko.

Waktu itu gue cuma mikir kalau emasnya nggak bisa gue pake, mending gue jual aja. Kalau aja gue lebih pinter, biar aja itu gue simpen buat investasi. Dijual pas harga emas lagi tinggi.

Apa yang lo harapin sama pola pikir bocah umur 21 tahun masa itu?

"Bagi duit dong, Om!" Sadam menadahkan tangan depan gue.

"Buat apaan?"

"Beli kuota. Mama nggak mau ngasih."

"Nggak usah, Bang." Suara Atsha, yang muncul dari dapur, lebih dulu terdengar sebelum gue mengeluarkan dompet. "Baru diisiin dua hari lalu. Biarin aja nggak ada kuota dia. Kebiasaan boros banget, cuma buat ngegame."

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Where stories live. Discover now