List - 12

96.3K 13.7K 1.2K
                                    

Roman memijit dahinya, lalu menatap gue dengan pandangan tidak percaya. "Lo ngajak dia makan di Burger King?"

For Dominic Toretto sempak's sake! Dari sekian panjang curhat gue tentang kencan gagal sama Nada, yang mau si Bangsat ini bahas malah Burger King?

Ini yakin bunuh orang dosa? Gue beneran pengin banget motong leher Roman pake penggaris besi. Biar dia matinya lama. Tersiksa aja dulu.

"Burger King?!" Roman memelototi gue. "Lo ngajak jalan cewek, Bego. Bukan si Sadam!" bentaknya. "Cari kafe, kek. Resto kek! Malu-maluin banget lo, sumpah!"

Gue menggaruk kepala. Habis dibilang Roman, gue jadi mikirin itu.

Iya sih, cemen banget. Gue kayak anak SMA angkatan 90an yang ngajak kencan di KFC dan ngerasa udah keren banget.

"Ya gimana... lo nggak denger gue cerita tadi? Dia tuh... hampir dingin sama gue. Tiba-tiba natap, trus nanya mau makan di mana. Pas dia bilang pengin burger, gue ingetnya Burger King aja karena sering makan di sana. Ya udah...."

"Ya udah?" Dia geleng-geleng kepala. "Good luck aja deh ya buat lepas dari status jomlo hina lo itu."

Gue mendengus. "Lo nggak ngerti banget ya? Dibanding masalah Burger King, ada alasan lain yang lebih kuat buat dia ilfil sama gue."

Meskipun tampak jelas kesal, gue bersyukur Roman mau move on dan nggak lagi balas insiden burger sialan itu. "Gue beneran nggak tahu kalau si Rambut Merah itu temennya Nada. Suer deh!"

"Dari awal juga gue udah ogah lo ajak ke tempat itu!" gerutu gue, kesal. "Nggak ada faedahnya."

"Halah, gaya lo ngomong faedah. Jumatan aja kayak puasa Nabi Daud. Seminggu salat, seminggu nggak," cibir Roman dengan kampretnya.

Gue beneran pengin gantung dia pake tali layangan sekarang. Bukannya bantu gue mikir, malah ikut nambahin penghinaan. Kayak gue udah kurang hina aja sekarang.

"Terus? Dia nggak mau lagi ditemuin?"

Meskipun harus menahan dongkol, gue kembali menceritakan apa yang dibilang Nada.

"Sedih amat lo, masuk friendzone." Roman nyengir lebar, nggak ada rasa simpati sedikit pun.

Gue mulai meragukan dia sebagai sahabat. Mungkin udah saatnya gue cari partner dan sahabat baru yang lebih nggak kampret.

Roman kemudian berdeham. "Dia minta selow, lo turutin aja. Kalau ntar udah terlalu lama nggak ada kemajuan, ya lo mundurlah. Cari cewek lain."

Satu hal yang nggak gue kasih tahu ke Roman, gue paling malas buang-buang waktu sama hal yang nggak pasti, termasuk masalah ginian. Saat gue mutusin buat PDKT, gue mau ada arah yang jelas. Sama-sama ada keinginan kalau PDKT itu bakal naik ke hubungan selanjutnya, syukur-syukur kalau bisa sampai ke KUA.

Tapi, Nada sama sekali nggak gitu. Normalnya, gue langsung mundur sekarang, karena tahu kalau gue cuma bakal buang-buang waktu. Tapi entah kenapa, gue ngerasa cemen aja kalau mundur sekarang.

Dia nggak nolak. Cuma belum bisa nerima niat PDKT gue. Jadi sebenernya gue masih ada kesempatan, kan?

Menyedihkan banget sampe gue harus segininya menghibur diri.

"Ngomong-ngomog, si Rambut Merah namanya siapa?" tanya Roman, penasaran.

Gue nggak nanya ke Nada, takut itu malah bikin dia makin salah paham. Tapi Adel sempet nyebut nama gurunya itu.

"Berta," jawab gue.

"Cakep, ya. Unik gitu. Lebih menarik dari Nada."

Gue menyunggingkan senyum pada Roman. "Kalau bini lo denger yang barusan, lo bakal selamet nggak pas pulang ke rumah?"

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Where stories live. Discover now