[23]_Thorn Among the Roses_

Start from the beginning
                                    

"Karena kau adalah nonaku. Aku akan memenuhi semua keinginanmu, sesuai dengan kontrak kita."

Kalimat itulah yang selalu berhasil menghancurkan setiap harap yang Hime genggam erat. Kontrak, ya ... selalu tentang kontrak, dan selalu karena kontrak. Hanya sebatas itu.

Melihat raut wajah cantik Hime yang entah kenapa terlihat menyendu, Calvert memilih untuk tak lagi membahasnya. Menilik dari apa yang ia lihat, sang pangeran pasti belum menyatakan perasaannya.

Padahal ia bisa melihat bagaimana isi hati Damarion hanya dari cara junjungannya menatap gadis berambut coklat di depannya. Tapi entah karena apa pun itu, ia tak berhak mencari tahu alasannya.

"Anda akan tahu sendiri jika saatnya tiba," jawab Calvert pada akhirnya.

Calvert kembali melangkah, menunjukkan ruangan besar dibalik daun pintu berhias rubi di sisi kanan ruangan. "Ini adalah ruangan pakaian. Di dalamnya juga terdapat kamar mandi, jadi anda hanya perlu masuk ke dalam jika ingin menyegarkan diri,"

"Dan itu adalah pintu menuju ruang kerja pangeran." Ia menunjuk sebuah pintu yang berseberangan dengan pintu pertama.

"Jika anda membutuhkan sesuatu," Calvert menjeda kalimatnya, bertepuk tangan dua kali dan tujuh maid langsung menghambur ke dalam kamar sambil membungkuk hormat tepat setelah pintu kembali terbuka.

"Mereka adalah tujuh maid terbaik di kastil ini. Mereka juga memiliki kekuatan di atas maid lainnya, jadi, anda tak perlu khawatir. Merekalah yang akan melayani anda-"

"Karena Pangeran Damarion pasti akan meleburkan saya jika saya berada di sini lebih lama lagi," lanjut Calvert berusaha mencairkan suasana.

Calver menundukkan kepala, membungkuk hormat. "Saya pamit undur diri, Nona Hime. Semoga anda betah di sini," ucapnya kemudian berbalik menuju ambang pintu.

"Calvert,"

Suara merdu Hime menahan langkah Calvert, membuatnya berbalik dan mengulas senyum.

"Apa ada yang harus saya lakukan?"

Hime menggeleng cepat, ia memiringkan kepala dan mengedipkan mata indahnya, "Apa kamar ini memang disesuaikan dengan keinginanku? Bukankah tadi dia sendiri yang menolaknya?"

"Karena keinginan anda adalah perintah mutlak dari Pangeran Damarion. Jika anda meminta nyawanya,  saya yakin beliau akan memberikan dengan senang hati hanya untuk melihat senyum di bibir anda." Calvert kembali menunduk, kemudian berbalik.

"Itu yang saya tahu," ucapnya sebelum meninggalkan Hime dengan ketujuh maid di dalam kamar Damarion.

Hime mengerjapkan matanya, entah otaknya sedang tidak berfungsi atau memang kata-kata Calvert terlalu tinggi untuk dapat ia cerna hingga membuatnya linglung sejenak.

Masih berdiri membelakangi jendela besar. Hime melirik para maid yang tengah berdiri, berjajar rapi di hadapannya. Menunggu perintah agar mereka dapat bergerak.

"Emm ... apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Hime yang membuat para maid saling bertatapan, sama bingungnya.

.

.

.

Di ruangan yang lain, Rion sedang duduk di kursi santainya. Ditemani oleh seorang  maid yang baru saja mengantarkan minuman untuknya.

Tatapannya terlihat kosong, dengan kedua tangan menumpu pada pinggiran kursi mewah. Hingga suara pintu diketuk membuyarkan lamunannya.

Calvert masuk dengan membungkuk hormat, kemudian melirik sang maid dengan isyarat agar segera meninggalkan ruangan. Seakan mengerti, maid itu langsung membungkuk hormat dan keluar dari sana.

LILY & The DEMON PRINCE ✔️[diterbitkan]Where stories live. Discover now