sembilan

3.1K 128 11
                                    

Kudengar suara yang amat sangat bising dari dalam kamar lelaki itu. Matahari belum juga terbit, dan orang orang pun belum terlihat memulai aktivitas mereka. Namun lelaki ini, sepertinya ia sedang melakukan hal yang begitu penting sehingga ia harus menyelesaikannya sebelum sinar matahari datang.

Dengan keingintahuanku yang begitu tinggi, aku memutuskan untuk bangkit dari kasurku dan berjalan pelan keluar kamar. Mengendap-endap dengan berusaha meminimalkan suara kakiku sebisa mungkin. Kamarnya berada tepat di sebelah kamarku, membuatku tak usah berlama lama untuk menahan nafas. Kau tahu, disini sangatlah sunyi sehingga satu hembusan nafaspun mungkin bisa terdengar.

Pintunya sedikit terbuka, meninggalkan celah yang mempermudah penglihatanku. Kulihat sebuah kardus yang lumayan besar berada di atas matrasnya. Disusul dengan tangannya yang dengan kasar memasukkan benda-benda itu ke dalam kardus tersebut. Hingga tak lama terdengar suara pecahan kaca di dalam sana, entah apa benda yang ia lempar. Aku mengernyitkan dahiku. Apa yang sedang Calum lakukan?

"Fuck." Gumamnya.

Kemudian suara bising itu menghilang dengan sendirinya untuk beberapa detik sebelum...

"Hey, kau sedang apa?" Aku tersentak saat Calum tiba tiba saja membuka pintu dan melihatku yang sedang berjongkok di depan kamarnya. Sial.

Aku tersenyum gugup dan berdiri, mengusap usap tanganku seraya memikirkan apa yang akan kuucapkan. "A–aku, um– aku, awalnya aku akan meminta buku tulis tapi tiba-tiba perutku sakit. Ya ja–jadi aku berjongkok."

Ia menautkan kedua alis tebalnya dan menyipitkan matanya, seolah semua yang aku katakan tidak benar dan tidak masuk akal. Aku memang tidak pandai dalam hal menipu orang.

"Aku sudah membelikanmu dua lusin buku tulis waktu itu. Kau apakan semuanya?" Tanya Calum, tangannya masih berada di gagang pintu. Matanya mengintrogasiku dalam.

"Aku, eh– aku tidak sengaja membuangnya ke tempat sampah waktu itu. Aku kira plastik hitam itu berisi buku bekasku dan ternyata bukan. Maafkan aku." Jelasku berbohong. Aku mencoba tersenyum manis di depannya, berusaha membuat Calum tak curiga dengan gerak gerikku.

Ia melihatku sejenak sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamarnya, dan keluar dengan dua buah buku di tangannya. Ia menyodorkan kedua buku itu kearahku. "Thanks." Ucapku.

Calum berjalan menuruni tangga namun ia berhenti, menolehkan kepalanya kearahku yang masih saja terdiam di depan kamarnya. "Oh iya, tadi malam teman perempuanmu kesini, tapi aku bilang kau sudah tidur." Jelas Calum.

"Siapa? Mau apa dia kesini?"

Ia berpikir. "Marsha atau– Maria entahlah, aku lupa. Ia ingin meminjam baju cheers-mu." Lanjutnya, kini ia berjalan ke arah dapur.

Aku ikut menuruni tangga dan menghampirinya yang sedang sibuk memperhatikan isi kulkas. "Oh, Marsha. Lalu kau beri?"

Ia menggeleng. "Awalnya aku akan memberinya namun ia menggeleng karena ia tidak mau membangunkanmu. How nice." Ia terkekeh kecil, sambil mengambil sebuah kotak kecil yang berisi sisa makan siangnya kemarin.

Aku duduk di atas meja dapur, melihatnya yang sedang menunggu makanannya di dalam microwave.

"Cal," Panggilku.

"Ada apa?" Ia tidak menoleh melainkan hanya asik membawa makanannya ke sofa, seraya menyalakan televisi. Akupun mengikutinya lagi.

"Tadi, kau sedang apa?" Tanyaku sedikit takut. Sebelumnya aku tidak pernah dan bahkan tidak ingin tahu semua hal yang Calum lakukan. Namun saat ini kurasa aku berubah menjadi seorang mata-mata yang ingin mengetahui setiap detail aktivitasnya.

brother complex // calumWhere stories live. Discover now