BAB 9

1.4K 201 13
                                    

Jalanan begitu macet saat Lintang dalam perjalanan menuju sekolah. Begitu rapat hingga taksi yang ditumpanginya tidak bergerak sedikit pun. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya berkali-kali, lalu menghela napas.

"Ada apa Pak di depan sana?" tanyanya tidak sabar.

"Di jalan ini biasa begini, Dek. Ini kan jam makan siang," jawab sopir taksi itu.

Astaga. Jadi, Lintang sudah menghilang dari sekolah selama dua jam. Entah apa yang akan dikatakan Zidane pada guru yang menanyakan keberadaannya di sana. Tapi, Lintang seratus persen yakin kalau cowok itu akan mengatakan hal yang sebenarnya. Tidak ada yang diinginkan Zidane selain membuatnya keluar dari sekolah.

"Ya udah, Pak, saya sampe sini aja," katanya. Lintang menyerahkan selembar uang berwarna hijau pada sopir taksi. "Kembaliannya ambil aja."

"Terimakasih, Dek."

Tidak membuang waktu lagi, Lintang langsung berlari di trotoar, menyusuri jalanan macet itu yang tidak juga berakhir. Lagi-lagi seragam sekolahnya harus basah karena keringat. Sementara sekolahnya masih cukup jauh dari sini.

---

Zidane tidak mengerti sampai kapan dia harus selalu menyalakan kran air jika tiba-tiba Pak Eman datang atau berbohong hal lainnya jika beliau menanyakan tentang keberadaan Lintang. Tapi, jika seandainya saja Pak Eman datang lagi dan Lintang belum juga kembali, dia akan mengatakan yang sebenarnya.

Cowok itu sudah tidak bisa berbohong lagi karena dia tahu Pak Eman pasti curiga. Daripada dia yang kena getahnya, lebih baik Lintang yang dihukum sendirian.

Dan lagi, ingatkan Zidane untuk memberi pelajaran pada Lintang karena sudah membiarkannya membersihkan toilet laki-laki seorang diri. Dia bersumpah tidak akan membiarkan Lintang lolos kali ini.

Di toilet terakhir yang harus dia bersihkan, datang Galar yang langsung melemparinya dengan pertanyaan yang sama yang selalu ditanyakan Pak Eman selama dua jam terakhir ini. "Lintang mana?"

"Nggak tau, temen lo bolos," jawab Zidane sedikit kesal.

"Gila apa dia?" Galar membeo tidak percaya. "Mau langsung dikeluarin dari sekolah atau gimana?"

Zidane menghembuskan napas lelahnya setelah melempar gagang pel ke sembarang arah. "Ga," katanya setengah putus asa. "Gue capek banget gila."

Mendengar itu, Galar menggelengkan kepalanya dan mendecak secara dramatis. "Kasian banget lo, Dane," katanya turut prihatin.

"Bantuin gue dong, Ga," Zidane setengah merengek.

Galar terkejut mendapati sisi lain Zidane dari yang biasanya. Temannya ini pantang merengek atau meminta bantuan orang lain. Dia selalu menganggap apa pun itu bisa dia selesaikan sendiri. Tapi, hanya karena membersihkan tujuh toilet laki-laki selain dari toilet guru dan petugas sekolah, Zidane meminta bantuannya. Sungguh, Galar sama sekali tidak percaya itu.

"Tapi, gue harus balik ke kelas, Dane," ujar Galar sedikit tidak enak. "Lo tunggu Lintang aja, bentar lagi dia pasti balik."

Zidane menganggukkan kepalanya paham. Dia juga tidak memaksa Galar yang memang tidak bersalah dalam hal ini. Yang sangat amat bersalah di sini adalah Lintang, sudah pasti dia yang harus dihukum. "Lapangan kosong pas jam berapa?" tanyanya, keluar dari topik.

Dilihatnya Galar yang sedang berpikir dengan mata menatap ke atas. Lalu, tidak butuh waktu lama bagi Galar untuk menjawabnya. "Jam empat sore udah kosong."

"Oke," Zidan berujar, diakhiri senyum liciknya.

---

Lintang berhasil mendaratkan kakinya dengan mulus di taman belakang sekolah setelah dengan hati-hati melompat dari atas tembok pembatas. Dia sedikit merasakan sakit di kakinya saat menahan bobot tubuhnya agar tidak jatuh. Dengan susah payah cowok itu sampai ke sini hingga seluruh permukaan seragam sekolahnya basah karena keringat.

STAY: The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang