BAB 4

1.7K 210 7
                                    

Lintang dan Galar bersama-sama berjalan menyusuri koridor menuju kantin begitu bel istirahat berbunyi. Tapi, di tikungan koridor, dekat dengan tangga sebelah Timur, ada seorang cowok berdiri tegap dengan mata yang menyalang begitu melihat kehadiran Lintang.

“Lin,” ujar Galar sambil menyentuh bahu Lintang.

“Lo duluan,” Lintang masih mengarahkan matanya untuk menatap cowok yang berjarak sekitar tujuh meter dari hadapannya.

“Oke, gue duluan,” Galar menepuk bahu Lintang sebanyak dua kali sebelum kemudian berjalan meninggalkan cowok itu.

Lintang maju selangkah, kemudian cowok di depannya ikut maju selangkah. Dia baru saja berniat ingin menemui Zidane sepulang sekolah nanti, tapi sepertinya Zidane sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya dan memberi perhitungan.

Rupanya satu langkah lagi yang dilakukan Lintang membuat Zidane dengan gusar berjalan mendekat ke arah cowok itu. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya, sementara matanya menyalang marah.

Lintang menggulung lengan bajunya hingga siku, kemudian ikut menatap Zidane marah. Dia sudah siap meninju cowok itu jika saja dirinya merasa terancam. Dan sepertinya, dia memang sedang terancam. Lintang baru saja akan melayangkan tinjunya tepat di rahang Zidane, namun gerakannya kalah cepat. Zidane sudah lebih dulu menendang perutnya hingga punggung Lintang menghantam loker yang berada di sebelah kanannya. Dia meringis sambil memegangi perutnya yang terasa nyeri.

“Brengsek,” Zidane mendesis geram. Dia kemudian menarik kerah seragam Lintang. “Lo mau kabur?”

Lintang berusaha menyingkirkan cengkeraman Zidane pada kerah seragamnya, tapi terlalu kuat. Akhirnya, dia ikut mencengkeram kerah seragam cowok itu. “Lo main curang anju,” katanya tidak kalah kesal.

“Sori karena lo anak baru, tapi semua cara halal buat menang di tempat itu,” Zidane tertawa mengejek. “Harusnya lo udah tau kalo dari awal emang nggak ada peraturannya.”

“Brengsek,” Lintang mendorong tubuh Zidane hingga tepat berada di bawahnya.

Koridor yang tadinya lengang kini mulai dipadati oleh sekumpulan siswa yang membentuk lingkaran karena penasaran. Beberapa di antara mereka menutup mulut mereka yang membuka lebar karena kaget. Zidane yang sudah terkenal sebagai murid cowok pembuat onar di sekolah kini sedang berurusan dengan anak baru yang bahkan belum seminggu bersekolah di sini.

“Apa? Lo mau lari dari hukuman lo? Banci,” Zidane mendecih. Cowok itu dengan gerakan cepat mendorong tubuh Lintang hingga berada tepat di bawahnya. Dia lalu melempar selembar uang berwarna hijau. “Beliin gue bakso di kantin. Gue tunggu lo di pendopo.”

Di luar dugaan, Lintang justru melempar uang itu tepat ke sebelah kirinya. “Lo punya kaki, kan? Beli sendiri” ujarnya.

Lintang mendorong tubuh Zidane hingga tubuhnya bisa berdiri. Dia menepuk-nepuk seragamnya yang kotor. “Sori, tapi gua nggak mau jalanin hukuman itu.”

Zidane menggeram marah begitu Lintang berjalan menjauhinya. Anak baru itu sudah berhasil membuat harga dirinya terinjak-injak di depan banyak orang. Jelas dia tidak akan menerima apa yang sudah Lintang lakukan padanya.

Dengan gusar, Zidane melangkah berlawanan arah dengan tempat Lintang pergi tadi. Dia tidak lagi memikirkan uang dua pulu ribu rupiah yang sudah dibuang Lintang entah ke mana. Yang terpenting, dia harus bisa membalas Lintang nanti malam.

---

Citra sedang melayangkan tatapan tajamnya pada Galar saat Lintang sudah duduk di depan cowok itu.

“Lar,” Lintang memerhatikan keduanya yang sedang adu tatap satu sama lain. Dia bisa melihat seolah-olah ada cahaya berwarna merah yang saling dipancarkan oleh mata kedua orang itu.

“Lain kali, nggak usah pake cara norak buat ngerjain gue,” itu perkataan terakhir Citra sebelum kemudian dia pergi meninggalkan Galar.

Galar menghembuskan napas kesal. Dia melirik celana abu-abunya yang sedikit basah akibat ulah Citra tadi. Cewek itu dengan sangat sengaja menumpahkan setengah dari minuman Galar tepat pada celana cowok itu hingga terlihat seperti ngompol. ‘Gue benci dia,” katanya.

“Terserah,” Lintang mengibaskan tangannya di udara. “Gue keluar dari grup lo.”

Galar yang masih sibuk mengeringkan bagian celananya yang basah dengan tisu lantas mendongak. “Apaan?” tanyanya tidak suka.

“Gue males ketemu Zidane lagi. Gue keluar,” ujar Lintang lalu segera bangkit. Dia memutuskan tidak akan pernah ikut berkumpul lagi seperti semalam. Dia sudah terlalu malas bertemu Zidane atau mendengar nama cowok itu. Entahlah, Zidane seperti sesuatu yang harus dia hindari layaknya kuman.

“Hei, hei,” Galar merentangkan kedua tangannya untuk menghadang jalan Lintang. “Ada apa sama lo? Zidane buat masalah lagi?”

“Gue nggak suka cara dia manggil nama gue dengan sebutan ‘Anak Baru’, atau gaya dia kalo lagi ngomong sama gue,” jujur Lintang. “Sori, Lar, gue nggak bisa ikutan lagi.”

Baru saja Lintang akan melangkah, seseorang menabrak bahunya dari belakang. Lintang yang tidak siap lantas memegang bahu Galar agar tubuhnya tidak menghantam lantai koridor. Posisi seperti ini terlihat seperti Lintang dan Galar yang sedang berpelukan. Karena Galar tanpa sengaja memegang pinggang Lintang, berusaha menahan tubuh temannya agar tidak jatuh.

“Ewh,” ujar salah seorang siswa yang lewat. Dia bahkan berusaha menutupi mulutnya agar tawanya tidak meledak.

Secepat mungkin Lintang menjauhkan dirinya dari Galar. “Apa-apaan?” katanya kesal.

“Sori, tapi lo yang meluk gue duluan,” Galar mengangkat kedua bahunya acuh.

Lintang menggeram, lalu berjalan meninggalkan Galar yang masih berdiri sambil menahan tawanya di koridor.

STAY: The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang