23. Tak Semudah Yang Dibayangkan

Start from the beginning
                                    

"Ya udah. Kita pulang sekarang," kata Dito yang akhirnya menyerah dengan permintaan Vian.

Setelah membayar makanan dan meninggalkan restoran, Dito pun melajukan mobilnya menuju apartemen Vian.

Selama di perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan selain membahas mengenai kemacetan jalanan Jakarta petang itu. Hingga mereka tiba di apartemen Vian, sejam kemudian.

"Masuk!" ajak Vian begitu pintu apartemennya terbuka. "Kamu nunggu bentar nggak papa, 'kan? Aku mau mandi dulu, gerah banget," katanya lagi setelah melepaskan sepatunya.

"Kamu yakin nyuruh aku nunggu? Emang, Kemal nggak ke sini?" tanya Dito seraya melangkahkan kakinya mengikuti Vian yang masuk ke dalam ruang tamu.

"Nggak ada. Pulang dari Sentul, dia mau langsung ke Bekasi. Ada perlu sama Bang Arman katanya," jawab Vian yang sedang menggulung lengan kemejanya hingga siku.

"Oh ..., ngomong-ngomong, gimana kabarnya Bang Arman? Aku jarang ketemu dia akhir-akhir ini," tanya Dito lagi yang kemudian duduk di sofa tanpa dipersilakan oleh Vian.

"Bang Arman, baik. Dia lagi sibuk ngurus kerjaan di Bengkulu. Dua minggu lagi 'kan dia tunangan. Jadi, dia sibuk banget dan jarang ada di kantor," jawab Vian.

"Pantes jarang ketemu dia. Biasanya sih sering nggak sengaja ketemu di parkiran kantor," balas Dito. Vian tersenyum kecil seraya mengangguk paham.

"Aku mandi dulu ya," pamit Vian.

"Jangan lama-lama."

"Iya," jawab Vian yang kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Dito menuju kamar mandi.

⚫⚫⚫

Dua puluh menit berselang, Vian pun akhirnya selesai membersihkan diri dan menghampiri Dito yang terlihat sedang sibuk dengan iPad-nya.

"Lama ya, nunggunya?" tanya Vian seraya duduk di samping Dito dan meletakkan secangkir kopi di meja. "Aku bikinin kamu kopi, minum gih!" katanya lagi.

"Taruh aja di situ! Nanti aku minum," jawab Dito tanpa mengalihkan tatapannya dari layar iPad miliknya.

"Ada masalah apa? Kok, kayaknya serius banget lihatin iPad?" tanya Vian penasaran karena melihat raut wajah Dito yang nampak serius.

"Nggak ada. Cuma nyuruh Davin ngecek kerjaan. Ada klien baru dari luar pulau," jawab Dito.

"Oh ...," ucap Vian lalu terdiam dan tak lagi bertanya hal lain. Dia lebih memilih untuk menyalakan televisi seraya menunggu Dito menyelesaikan pekerjaannya.

Beberapa detik berlalu dalam diam, Dito pun akhirnya menyadari jika Vian juga ikut terdiam dan kembali murung seperti tadi. Dito menghela napasnya karena ikut lelah melihat kemurungan di wajah Vian.

Dia pun memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya dan meletakkan iPad-nya ke atas meja. Lalu dengan lembut meraih pundak Vian dan membawa laki-laki itu ke dalam pelukannya.

"Apa kamu bakal terus diem dan simpen masalah kamu itu sendirian?" tanya Dito lembut. "Seenggaknya, cerita apa yang sebenernya terjadi. Aku bingung kalau kamu diem kayak gini. Dari tadi murung terus. Kamu berantem sama Kemal?"

Vian menggelengkan kepalanya lalu memelukkan lengannya di perut Dito dan menyandarkan kepalanya di dada laki-laki itu seraya memejamkan matanya.

"Enggak ...," jawab Vian. "Kenapa kamu bisa mikir kalau aku berantem sama dia?" tanya Vian balik.

"Hmm ... feeling aja sih. Nggak biasanya juga kamu kayak gini. Bukannya kalian ke Bandung barengan, kemarin? Kenapa pulang-pulang kamu murung gitu? Kamu nggak diperkosa sama dia, 'kan?" tanya Dito dengan alis menyatu.

BETWEEN YOU & USWhere stories live. Discover now