24. Sebuah Rasa

3.9K 263 115
                                    

"Aku pamit, ya. Nanti kalau udah sampe, aku telpon," pamit Kemal sebelum pergi. Vian tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.

"Hati-hati," jawabnya. "Kamu nggak mau meluk aku dulu sebelum pergi?" tanyanya kemudian.

Kemal mengulum senyumnya lalu mendekatkan dirinya pada Vian yang berdiri tepat di hadapannya.

"Tumben, minta aku peluk? Biasanya juga nggak mau deket-deket?" goda Kemal.

Vian mengerucutkan bibirnya karena ucapan Kemal. Membuat laki-laki itu terkekeh senang.

"Aku lagi berbaik hati. Anggep aja ini hadiah dari aku sebelum kamu berangkat," jawab Vian beralasan.

Kemal tersenyum lebar. Lalu dalam satu rengkuhan saja, dia sudah membawa Vian ke dalam pelukannya. Memeluk laki-laki itu dengan sangat erat, seakan tak peduli dengan penilaian orang lain tentang mereka berdua yang berpelukan mesra di Bandara.

"Aku pasti kangen banget sama kamu. Padahal, aku pergi cuma tiga hari. Tapi rasanya berat banget buat ninggalin kamu sendirian di sini," gumam Kemal dengan mata terpejam.

Tanpa sadar, dirinya sudah menghirup wangi tubuh Vian sekaligus mengingat aroma parfumnya yang menenangkan di dalam kepalanya. Kemal pasti akan sangat merindukan laki-laki dalam dekapannya itu.

Untuk kali pertama, dia pergi meninggalkan Vian jauh dari Jakarta. Biasanya, meski ke luar kota, Kemal tak merasakan perasaan seberat ini ketika berpamitan dengan Vian. Apalagi, keduanya sedang dihadapkan dengan situasi yang tak menyenangkan semalam.

Sepulangnya dari apartemen Vian semalam, Kemal tak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan ucapan Vian. Kemal merasa jika dirinya tak akan sanggup kehilangan laki-laki itu sampai kapan pun.

Baginya, tak ada yang lebih berharga dari Vian. Kemal sendiri tidak tahu kapan tepatnya, cintanya pada Vian mulai tertanam kuat di hatinya.

Rasa itu kian bertumbuh dan semakin dalam memasuki hatinya seiring berjalannya waktu. Senyuman di bibir Vian selalu bisa menggetarkan setiap sendi di tubuhnya. Dia takkan rela kehilangan senyuman itu hingga kapan pun.

Kemal sadar, jika cintanya pada Vian bertepuk sebelah tangan. Tapi, hal itu tak lantas meruntuhkan niatnya untuk membuat hati Vian terbuka hanya untuknya.

Kemal yakin sekali, jika suatu saat nanti Vian akan menyadari tulus cinta yang dia punya dan akan menerimanya sepenuh hati.

"Aku bukan anak kecil, Kè. Kamu nggak perlu khawatir berlebihan gitu. Selesaikan kerjaan kamu. Jangan bikin Bang Arman kecewa," balas Vian seraya mengusap punggung Kemal.

Kemal masih tersenyum di balik tengkuk Vian. Lalu menarik napas dalam-dalam setelah puas membaui aroma tubuh Vian, kemudian melepaskan pelukannya setelah sebelumnya dia mengecup leher Vian samar-samar.

Tindakan Kemal itu membuat Vian berjengit kaget dan langsung salah tingkah. Matanya tak lepas memandang ke segala arah, karena khawatir ada yang melihat apa yang Kemal lakukan pada lehernya barusan.

"Aku suka baumu ...," gumam Kemal yang kemudian tersenyum lebar pada Vian.

"Ehm ...."

Vian berdeham keras untuk mengurangi kegugupannya. Wajahnya memerah tanpa dia sadari. Senyuman Kemal pun semakin terkembang, kala melihat lelaki yang dicintainya itu memalingkan wajahnya dengan ekspresi malu-malu.

"Aku jadi makin males pergi, kalau lihat wajah imut kamu gini. Gemesin," kata Kemal berbisik di dekat telinga Vian. Vian pun semakin malu dan tak mau memandang ke arah Kemal.

"Gombal banget!" jawab Vian yang langsung cemberut dan menunjukkan muka masam.

Dia lalu mendorong bahu Kemal pelan agar sedikit menjauh darinya karena wajah mereka terlalu dekat. Vian merasa risih dengan tatapan orang-orang yang sengaja memalingkan wajahnya saat berjalan di dekat mereka, hanya untuk melihat apa yang mereka lakukan. Meskipun itu hanya perasaan Vian saja.

BETWEEN YOU & USحيث تعيش القصص. اكتشف الآن