Duh, penghuni rumah ini yang namanya tercantum di kartu keluarga pada ke mana sih? Papa, mama, Kalandra.

"Coba dulu. Javas." Dia mengeja namanya sendiri.

Bibirku tercebik. Aneh banget.

"Nggak mau," gerutuku.

"Harus mau. Biar kamu terbiasa mengucapkan nama saya seperti saya terbiasa mengucapkan nama kamu."

Ish!

"Javas," sahutku pelan sepelan hembusan napas.

"Saya dengarnya kapas."

"Ja... vas. Javas," ucapku lantang seperti pemimpin upacara saat peringatan proklamasi kemerdekaan.

"Bagus. Biasakan begitu," dia menepuk kepalaku tiga kali.

Aku tertegun.

"Sekarang," helaan napas pendeknya terhembus. "Saya... em, kamu tahu saya dan Venetta bertunangan."

Jeda lagi. Pria itu menggosok hidungnya, membuka satu kancing kemeja atasnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Segelintir peluh menetesi keningnya. Dia gunakan lengan untuk menyekanya.

Orang ini kenapa, toh? Cepatlah, cacing-cacing dalam perutku sudah demonstrasi menuntut hak memperoleh sari-sari makanan yang kutelan.

"Merangkak pada tahap pernikahan sudah kami rencanakan," Javas berdehem. "Tapi... tidak berarti hal itu harus diwujudkan. Artinya, manusia hanya bisa berencana namun keputusan tetaplah kuasa Tuhan."

"Astaghfirullah hal adzim... Bapak mulutnya dikondisikan. Ucapan adalah doa. Bapak mau menghapuskan wujud pernikahan Bapak sendiri? Tetangga saya yang psikiater itu saya rasa masih bersedia buka konsultasi jam segini," seruku refleks berdiri.

"Swastika..." Javas ikut berdiri.

Bagaimana caraku mengusir manusia ini? Menurutku ini perbincangan yang tidak pantas. Javas salah memilih konsultan. Curhat padaku sama saja tak akan dapat solusi. Aku bukan konsultan hati yang handal.

"Javas. Bukan Bapak," koreksinya.

"Iya iya, Javas. Kalau Anda sedang bermasalah sama Venetta jangan ke sini, dong. Saya bukan penampungan curhatan Anda."

Nah, jadi aneh kan kalau panggil pakai nama.

Javas mengacak surainya sendiri. "Dengarkan saya dulu, Tik."

"Anda pulang aja, ya."

"Tika," ujarnya parau.

Sekujur wajah hingga pipinya memerah. Khawatirku dia meledak tiba-tiba. Buang-buang waktu meladeni orang emosi begini.

"Pak. Eh, Javas. Anda..."

"Saya tidak butuh psikiater. Saya hanya ingin kamu tahu kalau perasaan saya sedang kacau dan saya butuh kamu untuk meredam kekacauan itu," geram Javas.

Hiks. "Salah saya apa? Jangan paksa saya balik kerja di tempat Anda, dong."

"Duh, Tika..."

Kedua tanganku ditariknya lantas ia kaitkan pula kedua tangannya di sana. Persis seperti insiden menyeberang saat perpisahan kantor tempo lalu. Pak RT maafkan aku, lain kali kalau ada tamu aku akan lapor Bapak, deh.

"Kamu, membuat saya berpikir dua kali apakah saya dan Venetta harus berakhir di pernikahan atau berakhir sebagai kenangan. Terus terang kamu adalah alasan saya menunda pernikahan dengan Venetta," bisiknya dengan nada bergetar.

"Kenapa harus saya yang jadi kambing hitam? Padahal saya selalu bertindak sesuai prosedur. Apa saya sehina itu di mata Anda sampai segala kesalahan dilimpahkan ke saya?" isakku.

Wedding Festival [Terbit]Where stories live. Discover now