15. Koersi

117K 14.4K 984
                                    


Cinta itu keikhlasan, tidak ada paksaan ataupun pelampiasan.
-Bacharuddin Jusuf Habibie-

===

"Kamu."

"Saya? Buat apa?"

Pantatku berlabuh di atas sofa single di depan Javas duduk. Dia atas meja tergeletak Red Velvet yang aku kembalikan padanya tadi siang. Porsinya sisa separuh. Jangan-jangan dimakan Kalandra. Duh, gimana kalau dia keracunan? Lindungi adek hamba ya Tuhan, walaupun dia bandel level nasional pernah mengguyur sisa kuah mie instannya di kepala hamba.

"Menyederhanakan kerancuan pikiran saya," kata Javas menancapkan ketajaman tumbukan matanya padaku.

"Bapak khilaf? Biasanya Bapak tidak terganggu sama keribetan pikiran Bapak sendiri. Biasanya enjoy aja, tuh," cetusku setengah terkikik.

Javas berdehem. Dia garuk pangkal hidungnya, mengusap tengkuknya, selanjutnya aku sangsi akan sikapnya.

"Perasaan saya kacau." Javas menjeda kalimatnya. "Bantu saya meredam kekacauan itu, bisa?"

Mataku mengawang di langit-langit ruang tamu yang baru kusadari terdapat jaring laba-laba membentang di sudutnya. Ow, kalau papa tahu ada laba-laba membangun rumah secara ilegal di langit-langit sana tanpa IMB, pasti dia bakal memberdayakan aku turut kerja bakti ibarat satpol PP menggusur bangunan akhir pekan ini.

"Bisa. Saya punya saran yang ampuh buat Bapak," ujarku mengulum senyum.

"Katakan."

Kucondongkan tubuhku. Merendahkan suara aku berkata, "Pergi ke psikiater, Pak."

Tadinya muka Javas memancar penuh sinar harapan seketika terlipat masam. Aku tergelak.

"Tika," panggilnya sambil menumpu tangan kanannya pada meja.

Aku meneguk ludah. Mulai ngeri, nih.

"Saya tidak bercanda."

"Saya juga."

Javas menghela napas panjang. Dia bangkit berjalan ke arahku. Eh, kenapa aku merasa horor ya. Kedua alisku menukik saat Javas berlutut di depanku. Mama, papa, Kalandra kalian pada ke mana. Siapapun tolong aku! Aku jadi paham esensi tulisan 'Tamu harap lapor 1 x 24 jam' di depan gang yaitu untuk mengantisipasi kejadian buruk seperti yang sekarang kualami. Lain kali aku suruh siapapun yang mau bertamu ke rumahku harus minta restu pak RT dulu!

"Tika," ucapnya hendak menjamah tanganku tapi aku lebih cekatan menyembunyikannya di balik punggung.

Kudengar helaan napas berat terhembus dari hidung Javas.

"Saya..." bibir Javas bergerak tapi tanpa suara.

Ususku berdenyut meminta asupan gizi. Kesabaranku sungguh teruji menunggu bapak ini berkata lagi.

"Apaan sih, Pak? Saya punya tetangga psikiater kayaknya dia lebih paham keluhan Bapak. Saya nggak keberatan antar Bapak ke sana," desisku seraya menaikkan kedua kaki di sofa single yang makin sempit menampung badanku.

"Ubah sebutan panggilan kamu terhadap saya. Sudah tak ada sekat bos karyawan lagi di antara kita," sahut Javas tegas.

Aku melongo. Dia berlutut di depanku hanya untuk memohon mengubah panggilannya? Astaga ingat umur, Pak. Situ kan udah luwes disebut bapak. Aku memutar bola mata.

"Nggak mau. Lagian udah pantas dipanggil Bapak."

"Kalau saya bapak, kamu mau jadi ibunya?"

"Kan saya masih kategori dewasa muda sedangkan Bapak udah dewasa. Malah cenderung tua," cetusku menurunkan volume pada kalimat terakhir.

Wedding Festival [Terbit]Where stories live. Discover now