v.

1.1K 198 27
                                    




Daun kali ini jatuh lebih perlahan, seakan tidak ingin perpisah dengan sang ranting. Berusaha mengingat bagaimana matahari yang bersinar di sela-sela tubuhnya sebelum jatuh ke tanah yang senantiasa menunggunya. Ada perasaan kehilangan ketika mereka berpisah, perasaan rindu yang teramat ketika akhirnya terbaring di empuknya rumput hijau.

Jungkook menyaksikan peristiwa itu dengan diam. Ia menyukai bagaimana otaknya memproses semua hal dengan penuh khidmat. Mau itu daun yang telah gugur—sampai angin yang berhembus malas menerpa wajah dengan gemulai.

Jika dipikir-pikir, ia bisa disamakan dengan daun tersebut. Perlahan-lahan terjatuh kedalam pelukkan yang lebih tua, namun masih gemetar ketika mengingat masa lalu ayahnya yang kelam.

"Jadi begitu?" Taehyung membuka suara. Menghirup wewangian lavender dari tubuh yang lebih muda, menciptakan candunya sendiri.

"Aku turut berduka, sungguh." seakan tau bagaimana rasanya kehilangan, ia tertunduk. Mengapit tangan Jungkook dengan jari jemarinya yang lebih besar—mencoba menghantarkan rasa hangat dan nyaman dari genggamannya.

"Aku tidak sempat bercengkrama dengannya," ia bergumam. "Atau bahkan melihatnya." senyuman Jungkook palsu, dan Taehyung tau itu.

"Kau tak apa?"

"Aku hanya, kecewa." mengadahkan kepalanya keatas, menikmati warna biru yang mendominasi langit.

Biru. Entah apa yang membuatnya sangat menyukai warna tersebut. Mungkin perasaan tenang dan damai saat melihatnya. Sering terbayang-bayang bagaimana rasanya jika ia bisa terbang dan menyentuh langit. Merasakan awan jika ia dapat menggapainya.

"Biru," ia tersenyum. "Aku suka warna biru. Bisakah kau lihat indahnya warna itu dilangit?"

Taehyung terdiam. Matanya bergerak gelisah dan ia terus menerus membasahi bibir bawahnya.

Apa yang kau pikirkan?

"Aku buta warna," Jungkook seketika menoleh. Membelakkan matanya tidak percaya, mulutnya mengeluarkan hembusan nafas dengan gusar.

"Aku tau. Bagaimana bisa anak sepopuler aku ternyata mempunyai kelemahan seperti itu kan?" Taehyung mengeluarkan nada remeh. Tertawa dengan kecut ketika mengingat kenyataan yang ia hadapi.

"Gen dari Ibuku." Taehyung sekali lagi menjawab dengan lantang. Tidak ada yang ia takuti sekarang. Ia telah mempercayai Jungkook, dan rasanya tidak adil jika ia tidak berbagi rahasia terdalamnya kepada lelaki manis itu.

"Sekarang tidak ada yang perlu disembunyikan," kemudian tersenyum dengan indah, membuat Jungkook terpana untuk beberapa saat.

"Bagaimana dengan puisiku?" Jungkook akhirnya mengeluarkan suara saat beberapa menit keheningan yang melanda mereka. Bukan hening yang tidak nyaman, mereka berdua terdiam menyelami pikiran mereka masing-masing.

"Sejauh ini tidak ada yang sebagus punyamu," Taehyung melingkarkan tangannya ke pundak yang muda, membuat pipi keduanya merona merah.

"Aku jamin, kau akan menang."

Jungkook tersenyum kecil. Sekali lagi pandangannya terarah ke dedaunan yang hampir berjatuhan. Menikmati suara pohon yang seakan menari ketika tertiup angin. Inilah yang selama ini ia cari, ketenangan untuk batin. Pintu keluar untuk beristirahat dari kehidupan nyata yang mulai sesak.

Kemudian teringat akan suatu hal. Hal yang paling mengganggu ketenangan, membuatnya gelisah dan gentar. Senyumnya seketika luntur, rautnya berubah menjadi penuh tanda tanya dan sedikit percikkan kegugupan.








"Kita ini apa?"











"Menurutmu?"









"Entahlah, tolong jangan mainkan perasaanku."









"Apa yang kurasakan ini tulus. Aku ingin menjadi orang yang pertama kau lihat ketika bangun tidur, dan orang yang terakhir kau lihat ketika jatuh terlelap. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana."









"Begitu denganku, kak. Sejak pertama melihatmu"








"Dan apakah kau baru saja mengutip kata-kata dari Sapardi D Damono?"












"Kau menghancurkan suasananya, sayang." Taehyung mendecak kesal.



















Tamat.

biruWhere stories live. Discover now