iv.

995 190 8
                                    



Ia terduduk termenung memandang secarik kertas lusuh, mencoba menulikan mendengarannya dari kisah sang Ibu. Ia sama sekali tidak mengerti. Penantiannya selama ini tidak berarti, dan harapannya akan kebahagiaan pun terbuang jauh-jauh.

"Maafkan aku," Ibu nya membuka suara. Rambutnya yang sepanjang pundak ia gulung keatas, membuat wajahnya yang sudah berumur terlihat dua kali lipat lebih muda. Ibu nya mencoba untuk tetap tersenyum. Mencoba untuk terlihat tegar didepan anaknya. Ia tidak ingin anaknya semakin terpuruk akan mendengar masa lalunya dengan sang Ayah.

Sudah bukan rahasia lagi tentang asal usul sang Ayah. Bagaimana sang Ayah bertemu sang Ibu—kemudian menikah namun tidak direstui—yang membuat Ayah Jungkook melarikan diri dari semua masalah karena tidak sanggup menanggung beban.

Tidak lama setelahnya, tepat setelah Jungkook berumur 5 tahun. Dihari dimana Jungkook dan Ibu nya pulang kerumah dengan senyum yang mengembang, Jungkook yang tidak bisa menutup mulutnya dan terus bercerita akan teman baru yang datang ke taman kanak-kanaknya.

Senyum Ibu Jungkook pun luntur ketika mendengar apa yang petugas sampaikan padanya setelah membukakan pintu. Petugas itu menatap Ibu Jungkook dengan rasa prihatin dan iba, ia juga memberikan secarik kertas peninggalan sang suami untuk dirinya dan anaknya kelak.

Jungkook tidak mengerti apa yang terjadi malam itu, ia hanya mendengar suara pecahan beling dan ia turun untuk memastikan bahwa Ibu nya baik-baik saja. Ia mendapatkan pukulan di wajahnya, dan darah mengucur keluar lewat hidungnya. Jungkook kecil pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menunggu pagi datang dengan wajah dan tangan yang berlumuran darah.

"Ggukie," sebuah elusan pelan menyadarkan Jungkook dari lamunannya. Ia tertegun melihat sang Ibu yang mulai menanggis dalam diam, namun senyumannya tetap merekah.

"Aku tidak apa-apa," Jungkook berhenti sejenak. "Tapi mengapa sekarang, saat aku berumur 18 tahun?"

"Mungkin aku hanya menunggu saat yang tepat," ia mengalihkan pandangannya keluar rumah.

"Aku tidak ingin kau menanggung beban diusia yang sangat muda." Jungkook sekali lagi terdiam mendengarnya.

Diusapnya kepala sang anak dengan sayang. Melihat bagaimana ekspresi Jungkook mengungkapkan perasaan tenang dan damai. Semenjak kepergian sang Ayah, Ibu Jungkook harus berkerja dengan ekstra agar bisa menghidupi keluarganya. Jungkook pun begitu. Tidak ingin membebani Ibunya lagi, ia beralih bekerja di penitipan anak. Pekerjaan, alasan mereka sangat jarang mempunyai waktu untuk saling menyayangi dan mengasihi.

"Aku ingin keluar sebentar." Jungkook seketika bangun dari duduknya, membuat Ibu Jungkook memandangnya dengan tatapan bertanya.

"Mungkin dengan sedikit berjalan-jalan ku bisa menerima kenyataan ini."







Ia menduduki dirinya diatas bukit kecil di sebelah taman. Memandangi indahnya langit yang Tuhan ciptakan. Terlihat beberapa awan berbentuk diatas sana, dan burung-burung yang menerbangkan dirinya sambil asik berkicau.

Ibu jarinya mengelus kertas tersebut dengan sayang. Kemudian ia sadar, kertas yang sudah lusuh tersebut mempunyai makna yang kuat. Ia sadar bahwa kertas-kertas tersebut mempunyai hubungan.

Ia mengeluarkan kertas yang Ayahnya tinggalkan diatas kasurnya dan kertas yang Ibunya berikan tadi pagi, membelakkan mata karena ia berhasil. Puisi terakhir Ayahnya ada didepan matanya.



Rasa manis terlempar irama merengang terdengar samar
Nyaring kicau burung camar mengema di balik tirai tertutup kamar.

Pada kehampaan tirani yang ku hakimi telah pasti
Ketika sunyi rona hijau terbias dari megahnya pelangi
Sinar ketakutan ku pun mulai mengikis menghujam jeruji.

Samar nada indah suara mu semukan bayang keadilan akan cinta
Raut wajah mu tepiskan meredam menghakimi rindu ku dalam nyata
Berharap ku akan terjaga dari lelap buaian akan rasa.

Ternyata semua itu hanya sia-sia
Hanya celoteh luka yang membungkam nada.

Kebersamaan kadang hilang
Bahkan yang ku dapatkan mungkin hanya sedikit sapaan yang datang menjulang.

Walau kadang bertahan membuat ku sesek mengumpal tulang.

Kini ku baru sadar
Jalan yang ku lalui ternyata salah.

Biarlah ku yang pergi tuk selama-lamanya.

Maafkan diri ini yang telah gagal menjaga mu
Maafkan rasa ini yang telah lancang mencintai mu.

Cintai dan sayangi dia seperti kamu menyayangi ku dulu.





Hatinya menghangat saat memahami arti puisi yang dituju untuk Ibunya. Ia sekarang tahu bahwa rasa cinta sang Ayah akan selalu ada walaupun malam akan berubah menjadi pagi dan matahari takkan bersinar lagi.

Tak terasa sebuah kristal bening jatuh dari pelupuk matanya. Ia menghela nafas dan segera bersiap untuk melepaskan segalanya. Sampai satu suara memecahkan keheningan yang melanda dengan nyaman.

"Jungkook?"

biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang