ii.

1.2K 226 10
                                    


Matahari bersinar cerah. Mengusir seluruh awan keabu abuan yang berhasilkan menghasilkan rintikan hujan tadi pagi. Tidak dapat dipungkuri akhir-akhir ini sering sekali hujan yang hanya sekedar rintik-rintik.

Sekarang kelasku sedang dalam pelajaran olahraga. Pelajaran yang lumayan aku sukai walaupun tidak semua materinya dapat ku kuasai.

Setelah mendapatkan nilai diatas rata-rata untuk pengambilan nilai lari, aku dan Jimin duduk dipinggir lapangan. Dengan handuk berwarna putih yang bertengger di pundak, aku terlamun sambil memandangi pohon-pohon yang bergerak kecil tertiup angin.

"Jungkook," aku tersentak dari lamunan ketika Jimin memanggilku. Aku segara menoleh ke kanan, melihat Jimin yang sedang memandangku dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan.

"Apa?"

"Ini sudah ketiga kalinya aku memanggilmu, apa kau baik-baik saja?" ujarnya dengan nada khawatir. Aku menganggukkan kepalaku beberapa kali sebelum membuka minuman berenergi yang sempat kami beli di kantin tadi.

"Ck," decaknya kesal, "Bilang saja kau sedang melamunkan kakak yang tadi"
aku tersedak minumanku dan Jimin tertawa pelan, tangan pendeknya penepuk-nepuk punggungku.

"Sudah kuduga!" Jimin tertawa lagi, namun kali ini lebih keras. Aku menyubit lengannya kesal, dan langsung mendapatkan erangan kesakitan dari si korban.

Aku mengalihkan pandanganku ke lapangan karena malas menanggapi Jimin yang sibuk menggodaku, memilih untuk melihat murid-murid yang berbaris rapih didepan tiang bendera karena terlambat.

"Kau sudah menyerahkan puisimu?" Jimin menoleh kearahku dengan kepala yang dimiringkan sedikit. Aku menggeleng pelan.

Dari kemarin aku sulit menemukan inpirasi untuk menulis puisiku. Biasanya aku akan langsung menuliskan—mencurahkan seluruh perasaanku ke kertas itu, namun sekarang aku hanya terduduk termangu memandangi dinding kamarku dengan pikiran kosong.

"Aku kesulitan,"

"Kau?" Jimin tertawa hambar, "Tumben sekali kau tidak termotivasi untuk membuat puisi." aku menggidikkan bahu. Mataku masih tertuju kearah murid-murid yang mulai hormat kepada bendera.

Kemudian Jimin penepuk pundakku dengan panik, dan mulai mengguncangkan tubuhku. Aku membalasnya dengan gumamam tidak peduli, namun pandangan ku terjatuh kepada jari Jimin yang menunjuk kearah lapangan.

Kakak itu. Bermain basket dengan ahlinya, membuat perempuan genit di pinggir lapangan menjerit jerit. Kemeja sekolah ditinggalkannya, memilih mengenakan kaus hitam yang makin melekat ditubuhnya karena keringat. Memakai headband bermerek mahal di rambutnya yang membuatku semakin lemas. Ku menunduk, tidak sanggup untuk melihat sosok yang mulai di kerumuni perempuan-perempuan.

"Hei, sudah bel istirahat"

Spontan aku mendongak kearah jam yang terletak di dekat bendera. Segera bangkit dari duduk dan berjalan kearah kantin, tentunya dengan Jimin yang setia di sampingku.

"Jungkook!"

Kaki ku berhenti melangkah, dengan cepat ku berbalik dan dapat ku lihat dengan jelas kakak itu mulai berlari mendekatiku.

"Bagaimana puisimu?" ujarnya ketika berjarak lumayan dekat dariku. Ku tersenyum lalu mengangguk, tidak mempercayai suaraku untuk saat ini.

Aku mulai menunduk malu ketika ia hanya berdiam disana sambil menatapku dalam. Jimin yang ada disampingku ikut terdiam, dan perlahan mulai mengetuk-ngetukan kakinya ke lantai pertanda ia bosan.

"Baiklah, kutunggu" ia berujar lagi. Mengacak rambutku lembut sebelum berlalu dengan langkah yang tergesa.

"Aku jamin kau tidak akan mencuci rambutmu dalam seminggu kedepan" kata Jimin di sela-sela tawa kecilnya.

"Tolong diingatkan, aku bukan dirimu Jim," aku mendengus sebal. Kemudian kembali melangkahkan kakiku kearah kantin yang mulai dipadati para siswa.

biruWhere stories live. Discover now