Rahasia dan Ketakutan

Comincia dall'inizio
                                    

" Ya udah kalau begitu, telur baladonya aku angetin aja buat besok sarapan."

Aku tahu kalimat terakhirku diabaikannya, dan aku hanya sekedar basa basi untuk menutupi kekecewaanku saja, tak lebih. Untungnya aku tidak begitu kecewa karena harusnya aku yang bertanya pada Juna, apakah dia mau makan di rumah atau tidak.

Selama aku membereskan makanan didapur, aku melihat Juna baru menyadari keadaan dikontrakan kami sekarang yang sudah menumpuk banyak sekali perlengkapan bayi.

" Kamu habis belanja," tanyanya ketika melihat banyak barang disudut-sudut setiap ruangan," uang dari mana?"

" Bukan itu semua hadiah dari kak Raisa." jawabku jujur.

Juna melihat ada sesuatu yang berlebihan." Banyak banget, dan lagi sepertinya barang-barang ini semuanya mahal." sekarang Juna tak hanya mengamati tetapi sedang memeriksa satu persatu semua perlengkapan bayi yang dilihatnya." Dan ini untuk apa boks bayi, kalau sudah enam bulan juga nggak terpakai. Terus kenapa juga beli kereta bayi dua sekaligus, bukannya itu mubazir."

Ada nada ketidaksukaan dari suara Juna." Kan bisa buat ganti-ganti." Aku membuat alasan sesuai perkataan kak Raisa.

" Tapi bukannya itu cuma buang-buang uang saja."

" Inikan semuanya hadiah dari kak Raisa Juna, masa aku menolaknya."

" Tapi belinya kan sama kamu, masa kamu nggak bisa nolak." untuk apa aku menolak pemberian seseorang, apalagi itu dari darah dagingku sendiri.

" Pamali nolak pemberian orang."

Juna masih menyangkalnya." Tapi kita jadi menyusahkan kak Raisa kalau seperti ini."

" Dia merasa tidak disusahkan, jadi buat apa diambil hati."

" Tapi itu sama saja dia menganggap bahwa aku tidak mampu membelikan semua keperluan buat anak kita sendiri." apakah yang ada dipikiran Juna masalah harga diri.

" Tidak ada yang menganggap seperti itu. Kak Raisa ikhlas memberinya."

" Tapi tetap saja ada batasnya."

Aku sudah tidak tahan." Kamu kenapa sih jadi marah besar, inikan urusan yang sepele."

" Ini urusan anak kita, bukan urusan sepele," Juna sepertinya marah besar, tapi matanya tidak berani menatapku dan hanya menatap barang-barang yang baru saja aku dan kak Raisa beli, seakan-akan ia lebih marah terhadap barang-barang ini daripada terhadap aku dan kak Raisa sendiri." Apa kamu tidak merasa malu selalu dibantu oleh kak Raisa."

" Masih untung ada yang mau membelikan semua perlengkapan untuk calon bayi kita. Lagian kamu sendiri membiayai sekolah adik kamu, tapi buktinya adik kamu baik-baik saja. Apa jangan-jangan selama ini kamu tidak ikhlas menghidupi adik dan ibu kamu." Harusnya aku menyebut Sari, nama adiknya, bukankah dia adikku juga.

Lalu Juna hanya terdiam terpaku masih memandangi hadiah dari kak Raisa.

Aku tidak tahu apa yang salah dengan kakakku atau diriku, apa Juna merasa terusik karena selama ini kontribusinya pada aku tak sebesar kak Raisa. Atau dia merasa bisa memberikan lebih tapi aku tidak menghargainya. Sungguh sulit menemukan inti permasalahan jika hanya aku saja yang selalu merasa salah dalam melakukan sesuatu.

Setelah aku cukup tenang dan mendinginkan kepalaku sejenak dikamar mandi, aku keluar dan mendapati rumah kontrakanku kosong.

Aku tak mendapati Juna di ruang tamu atau dikamar, bahkan pintu ruang tamu dibiarkan terbuka begitu saja, sedangkan ini sudah malam. Dan aku merasa tidak mendengar Juna keluar dari rumah, padahal kontrakan kami tidak begitu besar, harusnya dengan jarak setiap ruangan yang berdekatan, aku bisa mendengarnya dari kamar mandi.

Kemudian setelah melalui sedikit perenungan, aku sebenarnya muak dengan percakapan kami tadi mengenai urusan perlengkapan bayi yang menurutku tak perlu dibesar-besarkan. Kalau Juna memang tidak suka seharusnya dia bisa menyampaikannya dengan cara baik-baik, bukan dengan marah tiba-tiba sampai-sampai emosiku juga terbawa.

Dan akhirnya aku hanya bisa menutup pintu depan dan berusaha menenangkan diri kembali.

Sampai jam setengah sepuluh, Juna belum juga kembali. Aku tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku masuk kedalam kamar dan mendapati salah satu laci didalam lemari tidak tertutup rapat. Aku mengeceknya dan melihat buku tabungan yang diberikan kakakku terbuka begitu saja. Apa Juna sudah melihatnya lalu dia marah dan pergi.

Aku teringat hal yang aku rahasiakan dari Juna beberapa bulan yang lalu sewaktu kami ingin pindah kekontrakan ini. Aku tahu aku sudah menyembunyikan hal yang penting dari Juna, hal yang menurutnya sangat sensitif.

Ingatan akan ucapan mas Rizal teringang kembali, dan belum sempat aku memikirkan lebih jauh aku sudah mendengar pintu ruang tamu terbuka. Lalu aku keluar dan Juna sudah ada di ruang makan dengan wajah tak bergairah.

" Dari mana saja kamu tadi? Pintu depan terbuka begitu saja, bagaimana kalau ada orang luar masuk dan berbuat sesuatu."

" Tapi kamu baik-baik saja kan." Juna kali ini memperhatikanku, namun matanya tidak berani menatap mataku.

" Handphone kamu tinggal, bagaimana kamu bisa dihubungi dan bagaimana aku baik-baik saja kalau kamu kayak anak kecil lari dari-."

" Aku ada urusan."

" Kenapa nggak bilang-bilang."

" Karena ini urusan kerjaan." protesnya dengan keras. Apa dia pikir aku bodoh bisa dikelabuhi dengan alasan pekerjaan.

Aku pikir selama ini kami sudah belajar banyak tentang bagaimana sebuah hubungan dapat berjalan dengan baik." Aku selalu cerita tentang sekolahku, tetapi kalau masalah kerjaan kenapa kamu nggak mau cerita."

" Sudahlah kamu nggak perlu tahu."

" Aku istri kamu, jelas aku berhak tahu."

" Lalu masalah buku tabungan pemberian kakak kamu, aku nggak perlu tahu."

" Kak Raisa cuma... ."

" Cuma merasa berhak mengurus hidup kamu tanpa perlu melibatkan aku."

Akhirnya aku tahu inti permasalahannya." Oke, aku minta maaf mengenai buku tabungan itu, juga masalah hadiah yang diberikan kak Raisa padaku. Sekarang kamu mau apa?" aku seperti menantangnya," kalau kamu mau aku kembalikan sisa uang dari kak Raisa beserta hadiah pemberiannya, sekarang juga aku kembalikan."

Juna akhirnya menatapku tapi dengan raut wajah kesal juga marah tapi ada sedikit rasa takut pula yang tergambar diwajahnya. Apa yang ia takutkan.

am gengkxG

Too Young to be MomDove le storie prendono vita. Scoprilo ora