Persetujuan dan Kebohongan

5.6K 226 0
                                    

Esok harinya aku tanyakan perihal rencanaku dan Juna untuk hidup mandiri pada kak Raisa dirumahnya. Dan jawabannya adalah.

" Wow, itu hal yang bagus Septi." Kak Raisa berkata seakan-akan aku telah melakukan teborosan baru padahal hal ini banyak dilakukan oleh pasangan yang baru menikah termasuk kak Raisa sendiri kala itu," itu menandakan bahwa kalian berdua sudah dewasa dan mampu mengurus rumah tangga kalian sendiri."

" Jadi, kakak sangat setuju?"

" Tidak hanya setuju, tetapi kakak mendukung seribu persen." jawab kak Raisa sambil mengacungkan jempol untukku.

" Jangan lebay deh," tukasku," ini cuma hal biasa, lagipula kak Raisa tahu sendiri bahwa alasan kami ingin pindah karena ayah dan omongan tetangga bukan karena kami ingin mandiri." aku menggerutu sendiri." Menurut kakak, apa ayah akan baik-baik saja kalau aku pergi memutuskan hidup sendiri?"

Kak Raisa merasakan suatu ganjalan." Kakak nggak mungkin bilang ayah akan baik-baik saja, karena sudah sejak lama ayah tidak baik-baik saja."

" Jadi aku harus nanya dulu sama ayah begitu," hal yang tidak mau aku lakukan sebenarnya," tapi kalau ayah nggak setuju bagaimana."

" Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Karena memang ayah punya alasan sendiri yang menyebabkan semua hal ini terjadi kan?"

" Maksud kak Raisa? Aku nggak mengerti."

" Misalnya ayah bertanya kenapa kamu ingin pindah? Apa kamu akan menjawab 'karena aku pengen menghindar dari ayah', menurut kamu apa ia bisa terima?" cukup masuk akal perkiraan kak Raisa.

" Dia nggak menerima aku selama bertahun-tahun mengapa ia mesti nggak menerima alasanku sekarang." mengingat aku cukup yakin bahwa dengan kepergianku nanti tidak akan banyak mempengaruhi sikap ayah.

" Justru itulah maksud kakak, bahwa kamu sudah punya kehidupan sendiri dan ayah punya kehidupan sendiri, jadi kamu tak perlu melibatkan ayah." kata kakakku yakin." Yah walaupun begitu kamu harus tetap memberitahunya, tapi itu hanya sekedar prosedur yang harus kalian lakukan karena biar bagaimanapun kamu telah hidup lama bersama ayah, begitulah yang dulu kakak lakukan."

" Memangnya dulu ketika kakak bilang pada ayah untuk pindah, apa dia setuju?"

" Sebenarnya dia tidak setuju tetapi kakak tetap memaksa, walaupun mas Rizal menyarankan jangan membantah perintah ayah, atau setidaknya menunggu waktu yang tepat. Tetapi kamu tahu sendiri ayah seperti apa. Dia jarang di rumah tetapi ingin mengharapkan kita selalu ada dirumah ketika ia pulang." Aku tak yakin ayah mengharapkan kehadiranku ketika ia pulang ke rumah." Apalagi namanya kalau bukan egois, dan dulu kakak berpikir dengan kepergian kakak bisa mengubah sifat ayah, tapi ternyata perkiraan kakak salah." jelas kak Raisa dengan sangat yakin.

" Ayah nggak begitu sama aku, dia bahkan nggak peduli aku ada atau nggak ada."

Kak Raisa menggelengkan kepala." Bukan begitu, sebaliknya malah ayah sangat peduli, hanya saja dia tidak menampakkannya didepan kita."

" Kakak tahu dari mana?"

" Hanya menebak." dan kak Raisa memberi isyarat mengakhiri pembicaraan mengenai ayah kami." Oke intinya kakak setuju kamu pindah, urusan ayah biar kakak yang urus jika ia tidak setuju. Jadi selain itu tidak ada masalah kan." Kak Raisa memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang mengganjal menurutku walaupun menurut Juna itu bisa ia atasi, yaitu masalah biaya." Sejujurnya Juna tidak mempersalahkan, tetapi aku hanya merasa... perlu... bilang... ke kakak... masalah... " aku malu sekaligus ragu.

" Ngomong aja, kakak senang kita saling terbuka, kamu adik kakak satu-satunya, bahkan kamu sangat mengingatkan kakak sama ibu." kakakku mencubit pipiku.

Aku sendiri tidak yakin." Benarkah, aku nggak percaya, dari segi paras saja jelas kakak lebih mirip ibu, manis, menawan ketika tersenyum, beralis tebal, anggun dan hal-hal yang berbau cantik lainnya. Sedangkan aku..." aku membayangkan tak ada satu pun dari wajah dan sifatku yang mirip dengan ibu.

" Kamu salah besar," kak Raisa berusaha menyangkal perkataanku," berkacalah di cermin dengan sedikit riasan, kamu pasti akan mendapati bahwa kamu memang benar-benar anak ibu." Kakakku tersenyum manis.

" Oke kembali lagi ke rencana aku dan Juna," pintaku," mengenai masalah pindah rumah, aku cuma merasa mungkin kami belum mandiri secara materiil, tetapi Juna memaksaku bahwa itu tak masalah. Dia merasa tidak enak kalau istrinya tidak menghargai pemberiannya, karena ia bisa mengambilnya dari tabungannya atau melakukan pekerjaan sampingan."

" Oh masalah itu, kamu tenang saja kakak pasti akan bantu." kata kak Raisa mantap dan sama sepertiku menganggap bahwa masalah uang adalah hal yang sepele.

Aku merasa senang mendengarnya biarpun selalu ada rasa tidak enak menderaku ketika aku selalu meminta bantuan dari kakakku sendiri." Aku sangat berterima kasih kak dan juga minta maaf karena selalu saja merepotkan kakak."

" Kalau kakak masih bisa bantu kakak pasti akan bantu, kamu nggak usah sungkan. Kayak sama orang lain saja." Ia tersenyum senang.

" Tapi kakak janji ya jangan bilang Juna masalah ini." kak Raisa menimbang-nimbang usulanku sebentar, namun tak lama ia segera mengangguk.

" Mas nggak setuju." Mas Rizal yang sedari tadi hanya mendengarkan perbincangan kami berdua membuka suaranya.

" Kenapa, kata Septi, Juna merasa tersinggung kalau tahu hal ini. Aku cuma nggak mau ada perselisihan lagi dirumah tangga mereka." Kak Raisa seperti mencium ada pertengkaran antara aku dan Juna yang tidak diketahui olehnya, mungkin dari nada bicaraku yang ingin menyembunyikan perihal bantuan uang dari kak Raisa.

" Justru kalau kamu tidak bilang itu malah akan memperkeruh suasana. Bagaimana kalau lambat laun dia tahu dan merasa dibohongi sekaligus tidak dihargai." lanjut mas Rizal.

" Ya mungkin pada akhirnya dia akan memaafkan," jawabku," dia juga sebenarnya tidak setuju mengenai kalian yang tiap bulan membelikan aku keperluan untukku, seperti keperluan dapur, bahan pokok, susu dan belanja bulanan. Dia cuma berpikir tidak mau banyak merepotkan lagi kak Raisa untuk keluarga kecil kami." kak Raisa sedikit tertawa mendengar aku berkata 'keluarga kecil kami'.

Mas Rizal melanjutkan penjelasannya." Itu masalahnya, Juna sudah paham apa arti berkeluarga, dia berusaha menjadi seorang suami yang mampu menghidupi keluarganya sendiri, dan jika ia tidak mampu maka ia merasa gagal menjadi kepala rumah tangga. Dan lagi kalau sekarang kamu membohongi Juna masalah uang, apakah kamu mau jika ia melakukan hal yang sama yaitu membohongi kamu dalam hal lain." dia sudah melakukannya dengan membohongi perasaannya sendiri," setiap orang jelas tidak mau ada satu kebohongan pun dalam rumah tangganya kan."

" Aku ngerti apa yang kamu pikirkan mas," kata kak Raisa," tapi bisakah untuk saat ini kita tidak bilang dulu, nanti kalau sudah berjalan sebulan atau dua bulan baru kita lihat perkembangannya."

" Aku cuma menyarankan bukan memaksanya." Mas Rizal mengangkat kedua tangan." Asal kamu tanggung resikonya sendiri, itu terserah kamu. Kamu yang lebih tahu sifat Juna, karena dia suamimu." Mas Rizal menunjukku dan dia berbicara padaku seperti kepada anaknya sendiri. Aku mengharapkan ayah yang melakukannya.

Akhirnya aku mengambil resiko itu.

Aku senang kak Raisa menyetujui pendapat kami untuk pindah, walaupun dengan satu kebohongan. Aku hanya bersikap realistis dengan gaji Juna sebagai pelayan minimarket tentu tak kan bisa menghandle semua kebutuhan, dan uang sejuta lima ratus ribu tiap bulan yang ia berikan padaku hanya mampu untuk biaya makan, listrik dan air, belum lagi sekolahku.

Selebihnya memang aku sangat mengandalkan bantuan kakakku.

www.mat{#

Too Young to be MomWhere stories live. Discover now