Anak yang Tak Diharapkan #1

9.6K 302 0
                                    

Malam ini aku duduk sendiri di teras depan rumah, aku memang selalu melakukannya jika bosan bermain game atau tak ada acara televisi dan film yang bagus untuk di tonton.

Menurutku sesekali merasakan kesendirian dibawah cahaya bulan cukup menyenangkan, walaupun dinginnya kadang membuat bulu kudukku berdiri namun terkalahkan oleh ketenangan dan kedamaiannya, ditambah suara serangga yang memenuhi kebun depan rumah seperti musik yang mengiringi lagu kesendirian.

Di waktu yang tenang ini kadang aku teringat ibuku. Ibu yang tidak pernah aku kenal dan hanya aku ketahui jalan hidupnya melalui cerita-cerita kakakku, bahkan ayah sama sekali tak pernah membicarakannya sedikitpun, seakan-akan ia tidak pernah mengenalnya juga sama seperti aku.

Kadang aku memimpikannya dalam tidur, ia sangat cantik dan lembut.

Pernah kulihat ayah sedang berdansa dengan ibu dan tak mengacuhkanku. Ketika aku menatap wajah ibu, aku selalu meyakinkan bahwa ia sepertiku, tetapi pada kenyataannya dari foto-foto ibu yang kulihat dia sangat persis seperti kakakku, cantik, anggun dan lembut, sedangkan aku terlalu banyak kemiripan dengan ayah dan aku tak suka dengan hal itu, bahkan mungkin saja ayah lebih tidak menyukaiku karena aku tidak mirip dengan ibu.

Malam ini ayahku belum pulang juga tetapi itu hal yang biasa, jika sampai jam sebelas ia belum kembali yang aku lakukan hanya mengunci pintu dan pagar rumah lalu segera pergi tidur. Esok pagi jika sempat aku akan bertemu dengan ayah, itu pun kalau dia sudah bangun terlebih dulu atau belum berangkat kerja.

Tak ada komunikasi yang berarti diantara kami, jika aku tidak memulainya terlebih dahulu maka ayah tidak mau repot-repot menanyakan mengenai diriku ataupun perkembangan sekolahku, namun lama kelamaan aku bosan mencari perhatiannya walaupun untuk sekedar bertanya atau hanya sekedar basa-basi, dan sudah beberapa bulan ini kami memilih diam dan menjalankan aktivitas kami masing-masing.

Kakakku pernah berkata bahwa dulu ayah tidak seperti itu, dan kakakku tidak tahu dengan pasti kapan perubahan terjadi pada diri ayah.

Terkadang jika kakakku datang berkunjung pada hari sabtu barulah ada tanda-tanda kehidupan di rumah ini, selintas aku pernah berpikir mungkin sebaiknya aku tidak tinggal lagi bersama ayahku.

Apakah aku harus tinggal dengan kakakku? Itu hal yang tidak mungkin lagi karena dia sudah berkeluarga. Kakakku sudah cukup lama menikah sekitar tujuh atau delapan tahun namun sampai saat ini belum dikarunia keturunan.

Padahal keluarga suaminya sangat mendambakan seorang cucu karena mas Rizal adalah anak tunggal, kalau bukan dari dia, darimana lagi ibunya akan memiliki seorang keturunan. Tetapi kelihatannya mas Rizal tidak begitu mempermasalahkannya, karena mas Rizal adalah suami yang sabar dan pengertian untuk itu kakakku sangat mencintainya.

Kembali lagi ke kakakku, aku dan dia bisa dibilang sangat bersebrangan, bahkan umur kami terlampau jauh berbeda, dengan jarak lima belas tahun memisahkan kami.

Dulu sewaktu SMP aku pernah mendengar ayah bergumam selagi memandangi foto ibu," Las, mas pikir kita sudah cukup hanya mempunyai Raisa, karena kalau tidak mungkin dek Las masih disini menemani mas". Setelah mendengar itu aku separuh sedih separuh marah, ternyata ayah menyalahkanku atas meninggalnya ibu.

Kakakku juga pernah mendengar hal itu tetapi setelahnya kakak marah kepada ayah habis-habisan karena menyalahkan takdir. Dan sekarang takdir membuatku hidup berdua saja dengan ayah yang tak menganggap anak kandungnya sendiri.

Lamunanku hilang begitu aku teringat ucapan guru wali kelasku, ayahku dipanggil ke sekolah atas ketidakhadiranku selama lebih dari lima hari dalam sebulan ini dan jika sampai hari senin ayah tidak datang mungkin aku tak diizinkan ikut ujian tengah semester atau mungkin tak bisa lulus sekolah menengah atas.

Too Young to be MomWhere stories live. Discover now