Bot, Puisi, dan Cupcake

155K 8.9K 884
                                    

Tik... tik... tik...

Aku menghitung setiap detik dengan detak jantung. Memandang ke kanan dan kiri, kuperhatian teman-teman yang berulang kali menguap. Rasanya bukan aku saja yang bosan setengah mampus di kelas ini. Teman-teman yang menghadiri kelas ini pun sudah teler di atas meja, sedangkan dosen yang menerangkan mata kuliah Ekologi Sastra sibuk bercerita ngalor-ngidul. Kujatuhkan dagu di atas meja, menatap lurus pada dosen yang usianya sudah memasuki kepala lima.

"Waktu saya masih kecil, saya punya teman. Anggap saja namanya Sari. Dia itu kembang desa. Anaknya cuantiiiiik sekali. Dulu saya pernah suka sama Sari. Saya pernah mengirim surat cinta buat Sari, saya masukkan ke dalam botol, terus digantung di pohon depan rumahnya."

Bola mataku terputar. Aku menghela napas panjang berkali-kali. Sementara Pak Sukamto menceritakan kisah masa kecilnya panjang lebar, kawan-kawanku yang bisa dihitung dengan jari sudah tertidur di kelas. Sekitar sepuluh mahasiswa mendaftarkan namanya di kelas ini, tapi setiap pertemuan, aku hanya menemukan tiga sampai lima mahasiswa. Sisanya, seperti biasa, menitip absen pada yang lain. Seandainya Bening tidak menceritakan kekonyolan Pak Sukamto saat mengajarnya di semester kemarin, aku tak akan mau memasuki kelas membosankan ini. Sebenarnya aku sedikit berbelas kasih lantaran tak seorang pun mendengarkan celotehannya yang selalu keluar dari materi. Saat ia menjelaskan tentang dampak kerusakan lingkungan, ia langsung memotong topik dengan bercerita tentang masa lalunya. Seperti sekarang, saat ia memberikan materi tentang kajian Holistik, ia justru membawa kami menyelam kembali ke dalam kenangannya yang menurutku amat sangat tak ada pengaruhnya bagi kelangsungan nilai kami.

"Padahal saya ini orangnya sangat penurut..."

Ya Gusti selamatkan aku dari sini! Pada akhirnya, aku memilih ikutan tidur di kelas.

*

Pembaca, ijinkan aku menggunakan kesempatan menulis di bagian prolog dengan memperkenalkan diriku. Namaku—

"Angkara Devanagari."

"Ya?"

"Saya belum menerima tugas Kajian Budaya Urban kamu. Tolong segera dikirim ke email saya."

"Baik, Bu."

Nah, kau sudah mengetahui namaku dari dosen wali yang baru saja berpapasan denganku di koridor fakultas. Teman-temanku di sini cukup memanggilku Anggi atau Kara. Namun tak sedikit yang memplesetkan namaku menjadi Angkringan. Dan aku benci itu.

Di kampus ini aku tak punya banyak teman dekat. Maksudku, sahabat. Aku tidak pernah mempercayai konsep sahabat. Aku berteman dengan siapa saja, yang penting tidak merugikan dan tidak hanya datang saat butuh. Aku belajar di departemen Sastra Indonesia, departemen yang menurut orang tidak menjanjikan masa depan cemerlang. Haha. Dari banyaknya ilmu kesastraan, aku menambatkan hati di ranah Sastra Indonesia. Mengapa bukan Sastra Inggris, Jepang, Prancis, Belanda, Rusia, dan lainnya yang lebih keren? Jawabannya sangat sederhana. Aku hanya fasih berbahasa Indonesia.

Meskipun dikatakan tak memiliki masa depan cemerlang, di fakultas inilah gudangnya tempatku menambah wawasan. Di sinilah aku sadar bahwa dunia tidak sesempit lubang hidung ibu kosku. Aku bertemu dengan berbagai macam manusia. Termasuk cowok ganteng penghuni departemen Sastra Inggris yang sudah menarik hatiku sejak kali pertama kuinjakkan kaki di fakultas Humaniora. Si presbem fakultas yang dikenal sangat ramah, terutama pada dedek-dedek gemes yang menyapanya.

Untuk itu, kau harus ikut berkenalan dengannya. Namanya Ananta Senapati. Jika ada yang mengatakan bahwa namaku sangat indah, dialah orangnya. Satu-satunya penghuni kampus ini yang memuji namaku saat ospek tahun lalu.

"Ngg..." Ananta menarik nametag yang tergantung di tubuhku. "Angkara Devanagari. Nama yang bagus." Dan ia menambahkannya dengan senyum simpul yang sukses membuat persendianku lemas. "Lain kali jangan terlambat ya, Dek."

The Boot Stories (Boot, Poem, and a Piece of Cupcake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang