11: Mengubur Melinda

2.4K 269 45
                                    

Ketika Alma membuka mata, ia hanya melihat sekumpulan siluet hitam yang sesekali bergerak pelan. Bila ia memejamkan matanya kembali, ia dapat mendengar jangkrik-jangkrik yang terus menjerit, suara angin yang menyibak dedaunan, dan sesekali suara burung hantu dari kejauhan. Ia tidak tahu apakah suara burung hantu itu yang membuat tubuhnya merinding, ataukah angin dingin yang kini menggerogoti tubuhnya.

Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya tertahan. Saat ini ia duduk bersandar pada sebuah batang pohon, tubuh dan kedua tangannya ditarik ke belakang dan diikat menggunakan tambang. Sementara itu, kedua kakinya dirapatkan dan diikat pada bagian pergelangannya.

Setiap kali ia menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mencoba melepaskan diri, ia malah merasakan sakit pada pergelangan tangan dan punggungnya, dan itu membuat ia mengerang. Setidaknya, erangan itu membuat ia sadar bahwa mulutnya sedang tidak disumpal.

"Tolong! Toloong!" teriak Alma.

Suaranya begitu lemah, seolah digerus oleh desisan angin dan udara malam. Ia yakin, ada alasan mengapa Said tidak menyumpal atau menutup mulutnya. Pertama, mungkin ia terburu-buru. Perhatiannya teralihakan oleh hal yang lebih penting sehingga ia harus segera pergi. Dugaan ini terasa kurang meyakinkan, sebab Alma merasa bahwa ia telah tertidur cukup lama, bahkan hingga mengalami mimpi berlapis yang absurd. Said seharusnya punya banyak waktu. Kemungkinan kedua, Said memang tidak peduli. Ia telah memperhitungkan, bahwa sekeras apa pun Alma berteriak, tidak akan ada manusia lain yang dapat mendengar dan menolongnya.

Ia ada di tengah hutan sekarang. Tak ada sumber cahaya apa pun, kecuali cahaya pucat dari langit yang tidak menampakkan bintang sama sekali. Selain pepohonan, jangkrik, dan burung hantu di kejauhan, makhluk hidup lain yang berada di dekatnya hanyalah sepasukan nyamuk lapar. Nyamuk-nyamuk itu menggigiti kaki, tangan, dan pipinya dan menimbulkan rasa gatal yang sangat menyiksa. Beberapa kali ia mencoba mengusir nyamuk-nyamuk itu dengan menggoyangkan badan dan meniup-niup, tapi semua itu tak banyak gunanya.

Tak ada tanda-tanda bahwa Said berada di sekitarnya. Mungkin ia telah mengubur mayat Melinda sesuai rencana, meninggalkan Alma begitu saja di tengah hutan, dan segera pergi untuk menghilangkan barang bukti. Entah Alma harus merasa lega atau khawatir dengan kemungkinan itu. Bila Said benar-benar kabur, ia mungkin tidak perlu takut akan dibunuh. Namun siapa yang menjamin bahwa ia bisa melepaskan dirinya sendiri sebelum mati kelaparan atau dimangsa hewan buas? Di sini mungkin tidak ada singa atau serigala, tapi mungkin saja ada ular atau serangga-serangga berbahaya.

Kira-kira setengah jam lamanya Alma bertahan dalam situasi itu. Ia masih sempat berteriak dan meronta beberapa kali hingga ia kehabisan tenaga. Tiba-tiba saja ia melihat setitik cahaya putih di ujung kegelapan. Cahaya itu sangat kecil dan melayang-layang seperti bola api, terkadang bergerak naik turun mengikuti bentuk permukaan tanah, terkadang diam seperti menunggu sesuatu. Lama kelamaan cahaya itu tampak membesar dan menjadi lebih terang. Butuh waktu sekitar sepuluh menit hingga ia sadar bahwa cahaya itu tidak menjadi lebih besar, tetapi menjadi lebih dekat.

Alma mencoba berpikir rasional. Itu bukan bola api. Itu adalah cahaya dari sebuah lampu. Seseorang membawa lampu itu untuk menerangi langkah kakinya. Mungkin cahaya itu sengaja dinyalakan tidak terlalu terang agar tidak menarik perhatian dari kejauhan, atau mungkin hanya untuk menghemat energi.

Cahaya itu bergerak lambat, semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya terdengar suara gemerisik rumput sekitar lima meter dari tempat Alma diikat. Sekarang Alma dapat melihat sumber cahaya itu dengan lebih jelas.

Said berdiri di hadapannya sambil membawa sebuah lampu di tangan kiri. Lampu itu bukan lampu petromak seperti yang sempat ia bayangkan, melainkan semacam lampu darurat yang baterainya dapat diisi ulang. Cahaya dari lampu itu menerangi sebagian wajah Said. Ekspresinya masih murung seperti sebelumnya, tapi kali ini ia tampak lebih tenang.

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now