18: Penunggang

107 20 5
                                    

Di tengah kebimbangan Robi yang bergulat dengan pilihannya, ada pergulatan lain yang berkecamuk di dalam tubuh Alma, yaitu antara Alma dan roh Melinda yang kini sedang menguasai tubuhnya. Beberapa waktu sebelum moncong pistol itu mengarah ke kepalanya, hal itu sudah dimulai.

Ketika tadi Melinda menginjak rem dan mobil itu hampir menghantam pohon besar, pada saat itu juga Alma terlempar dari tubuhnya sendiri, jauh terpental ke kursi belakang, lalu semakin jauh hingga keluar dari kaca belakang mobil. Sensasi yang ia rasakan belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Ada perasaan pusing dan mual, tapi juga perasaan bahwa sekujur tubuhnya terasa sangat ringan. 

Perasaan tanpa beban ini seperti rasa lega yang ia rasakan ketika ia akan menyambut libur panjang atau ketika ia berhasil melunasi utang. Ia baru menyadari bahwa memiliki tubuh ternyata sama dengan memiliki beban. Sejak dulu bukankah begitu? Tubuh menuntutnya untuk makan, untuk bernapas, untuk bergerak, untuk hidup dan membuat pilihan-pilihan. Tanpa tubuh, sekarang ia hanyalah kesadaran yang melayang ringan di udara. Kesadaran tanpa tubuh, bukankah itu hantu? Sekarang Alma adalah hantu.

Ia terjatuh di atas jalanan gunung yang berbatu. Namun meski tubuhnya terhempas, ia tak dapat merasakan sakit sedikit pun. Ada semacam gaya tolak yang dikeluarkan oleh tanah itu. Mungkin bagi hantu, gravitasi sejatinya bersifat negatif, sehingga tubuhnya akan selalu terdorong ke atas menjauh dari sumber gravitasi. Ia akan selalu melayang, berjarak dari dunai material.

"Tunggu! Tunggu!" jeritnya ketika menyadari bahwa ia telah terlempar cukup jauh dari tubuhnya. Lampu rem mobil Said hanya tinggal dua titik merah di ujung kegelapan sana, dan ia merasa terlalu ringan—atau mungkin terlalu lemas—untuk bangkit dan berlari kembali ke tempat itu.

Ia melihat sekelilingnya. Alma dapat melihat barisan pohon-pohon gelap di sisi kanan dan kirin. Namun ia baru menyadari, bahwa selain pepohonan, sekarang ia bisa melihat apa yang biasanya tak bisa ia lihat. Ternyata benar, kini ia benar-benar telah menjadi hantu. Ia dapat melihat makhluk-makhluk ganjil di sekelilingnya. Perempuan-perempuan berambut panjang—yang mungkin disebut sebagai kuntilanak—bertengger di batang-batang pohon. Raksasa berbadan hijau mengangkangi jalan dengan kedua kakinya yang kekar. Manusia-manusia kecil seperti liliput berbaris dan berlalu lalang di atas tanah. Ketika menoleh ke langit, ia dapat melihat kepala-kepala manusia yang beterbangan dengan tulang belakang yang menggantung, melayang seperti ubur-ubur di langit.

Alma ingin menjerit ketakutan. Bahkan sebagai hantu pun, pemandangan itu tetap terasa mengerikan baginya, tetapi ia merasa bahwa jeritannya hanya akan menarik perhatian makhluk-makhluk itu. Alma berjalan, melangkah melewati bagian hutan mistis itu menuju tubuhnya yang masih disandera. Ketika ia berjalan melewati kuntilanak-kuntilanak itu,  mereka bergeming di atas dahan-dahan pohon. Bola mata mereka bergerak, melirik mengikuti ke mana pun Alma melangkah, seolah bola-bola mata mereka ditarik oleh sebuah sensor dari tubuh Alma. Ia berusaha mengabaikannya, tapi ia merasa jantungnya berdetak kencang sekarang.

Jantung? Bukankah jantungnya sudah tak bersamanya? Mungkin inilah yang namanya jantung hantu. Ia pernah mendengar, bahwa orang yang kakinya dimutilasi, sesekali masih akan merasa seolah ada kaki yang menempel di tubuhnya. Apakah fenomena itu juga berlaku pada organ sevital jantung?

Sepanjang ia melangkah menapaki tanah yang terasa seperti bantalan angin di bawah kakinya, ia terus membayangkan hal itu. Bukankah memori, pengalaman, dan identitas seseorang tersimpan di dalam otak? Kalau sekarang Melinda menguasai tubuhnya, termasuk otaknya, apakah lantas ia juga memiliki segala ingatan dan identitasnya? Termasuk kesedihan dan ketakutannya juga? Kalau benar, maka malang benar ia.

Rasanya sudah hampir setengah jam ia berjalan menyusuri jalanan hutan itu. Ia melewati belasan kuntilanak yang berdiri dan bergelantungan di atas pohon. Kepala-kepala buntung yang terbang melayang sambil sesekali turun dan berusaha menjilati tengkuk lehernya. Ia berlari menghindari rasa geli dan ngilu yang menjalari bagian belakang tubuhnya, lalu terhenti di hadapan sosok genduruwo yang menjulang kaku. Alma berjalan merunduk di kolong selangkangan genduruwo itu, hampir saja kepalanya terbentur biji pelir hijau yang menggantung seperti lato-lato. Namun sejauh apa pun ia melangkah, mobil itu tak juga berhasil ia raih. Ia merasa, setiap kali ia mendekat satu langkah, sepasang lampu mobil itu akan bergerak tiga kali lebih jauh.

Di tengah kebingungan itu, ia melihat sebuah sosok yang berjalan ke arahnya di antara dua cahaya lampu mobil. Ia memicingkan mata, mencoba memahami siapa atau apa yang kini melangkah ke arahnya. Sosok itu tampaknya bukan manusia. Ia seperti memiliki dua kepala dan berjalan dengan empat kaki. Alma menahan napasnya. Makhluk macam apa lagi yang akan ia temui?

Ketika makhluk itu sudah berada dalam jarak pandang yang cukup jelas, ia mulai bisa memahaminya. Sosok itu adalah seekor kucing besar. Bukan macan atau singa, tapi memang benar-benar kucing yang bertubuh besar. Kucing itu sebesar sapi, bulunya berwarna hitam pekat dengan sedikit garis putih yang kontras di lehernya—sekilas tampak seperti sedang mengenakan kalung. Sepasang mata kucing itu berwarna kuning terang, dan ketika sepasang mata itu menatap ke arahnya, Alma merasa mengenali kucing itu. Kucing itu adalah kucing yang sama yang ia jadikan tato di perutnya. Kucing peliharaan yang ia lindas sampai mati dulu.

"Komang?" gumam Alma. Komang mendengus pelan, kemudian berhenti melangkah.

Di atas komang, sesosok bayi telanjang sedang duduk menungganginya. Bayi itu tampak seperti bayi yang umurnya belum satu tahun, yang seharusnya belum mampu duduk dengan tegak, apalagi menunggangi seekor kucing raksasa. Melihat kepala bayi yang botak itu, Alma sempat mengira bahwa ia adalah sejenis tuyul. Masuk akal. Mengingat ia baru saja menyaksikan penampakan kuntilanak dan testis genderuwo, satu sosok tuyul yang menunggangi kucing raksasa bukan lagi hal yang ganjil baginya. Namun ketika bayi ajaib itu tiba-tiba membuka mulutnya dan berucap, Alma terbelalak.

"Ibu!" ucapnya.

Alma merasa tersedak oleh tenggorokannya sendiri. Ia ingin menjawab panggilan itu, tapi segala jenis kata-kata dalam kepalanya mendadak redup dan lenyap. Ia hanya bisa menahan napas dan menerka-nerka bahwa bayi ajaib yang memanggilnya ibu adalah anaknya sendiri—anaknya yang sudah ia gugurkan dulu. Ia tidak ingin mencari tahu mengapa anak yang seharusnya berbentuk janin itu kini sudah membesar dan bisa bicara.

"Ibu!" ucap anak itu lagi. Kali ini, ia menepuk-nepuk punggung belakang Komang, seolah mengajaknya untuk ikut menunggangi kucing itu bersamanya.

Komang membungkuk, merendahkan tubuhnya, mempersilakan Alma untuk naik. Hantu-hantu di hadapannya itu adalah masa lalunya, dan kini mereka bersamanya. Kucing dan bayi itu tak berbicara banyak kepada Alma, tapi Alma merasa bahwa ia dapat mempercayai mereka. Ia pun mengangkat kaki kanannya dan dengan sangat perlahan menaiki pungung Komang, tepat di belakang Sang Bayi. Di luar dugaan, punggung Komang terasa nyaman ia tunggangi meski tanpa pelana. Rambut hitamnya terasa empuk dan lembut, postur tubuhnya pun terasa seimbang.

Sang Bayi menunduk dan mengelus kepala Komang, seolah memberikan kode. Kucing itu kemudian berputar arah. Ia merunduk, seperti sedang bersiap untuk menerkam. Alma merasa gugup membayangkan apa yang akan terjadi. Ia belum pernah menunggangi kuda, apalagi kucing raksasa.

Tiba-tiba saja dengan sebuah hentakan yang kuat, Komang melesat maju. Ia berlari kencang melewati semak-semak, siluet pohon, dan hantu-hantu yang semakin ramai. Alma berpegangan erat pada pundak sang bayi, berusaha tidak memikirkan kemungkinan terburuk apabila ia sampai terjatuh. Setelah beberapa saat, hantu-hantu di sekitar mereka mulai tak terlihat lagi, sementara dua sinar merah semakin membesar di ujung sana. Samar-samar, ia dapat melihat siluet tiga orang di tepi jalan. Tiga orang dan sepucuk pistol.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 30, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now