8: Peringatan

112 30 4
                                    

Robi membuka bungkus burgernya, kemudian melahap lapisan roti dan daging sapi itu sambil menyadari bahwa ternyata ia memang lapar. Parkiran di depan restoran cepat saji ini terasa dingin, tetapi ia tak berniat untuk kembali masuk ke dalam. Petugas keamanan sesekali melirik ke arahnya, memastikan ia tak akan membuat keributan. Satu-satunya alasan ia masih berada di sini adalah karena ini tempat terakhir Alma pernah ditemukan.

Ia sudah menyusuri jalan itu, menunjukkan foto alma di ponselnya kepada setiap orang yang ia temui di pinggir jalan. Tak seorang pun pernah melihatnya. Semakin ia bertanya, semakin ia merasa putus asa. Jika orang-orang di pinggir jalan tak melihatnya, kemungkinan Alma berada dalam sebuah mobil dan ia tak pernah turun dari mobil yang membawanya. Akhirnya, seperti laron yang mendekati cahaya lampu, Robi menepi di sebuah restoran cepat saji terdekat yang bisa ia temui.

Ia menunjukkan foto Alma di ponselnya kepada pramusaji. Pramusaji pertama menggelengkan kepala. Ia tampak risih ketika seorang laki-laki lusuh bertanya-tanya tanpa memesan menu, apalagi dengan ekspresi setengah memaksa. Namun seorang pramusaji kedua, yang juga bertugas di layanan drive-thru, secara kebetulan menimpali.

"Kayanya pernah lihat deh," gumamnya sambil memelototi layar ponsel.

"Yang bener, Mbak? Kapan?" tanya Robi.

"Sekitar ... satu jam yang lalu. Satu mobil sama laki-laki," jawabnya.

"Terus mereka pergi ke mana? Dia baik-baik aja, kan? Mereka cuma berdua?" pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Robi.

"Mana saya tahu mereka pergi ke mana? Kelihatannya sih baik-baik aja, ya. Mereka kelihatan ngobrol biasa," jawab si pramusaji, kemudian ia terdiam sejenak. "Saya nggak ingat satu mobil ada berapa orang. Kayaknya sih berdua. Atau bertiga, ya? Kalau nggak salah, ada satu orang lagi di belakang, tapi diam aja, nggak ikut ngobrol. Tapi nggak jelas sih, gelap."

Bertiga? Robi merasa terusik dengan deskripsi itu. Tak mungkin Alma disewa oleh dua orang sekaligus. Tapi mengapa tidak? Ia sudah sering mendengar cerita seperti itu--tentang perempuan yang dijebak dan digilir paksa oleh sejumlah laki-laki. Kemungkinan lain, yang entah lebih baik atau lebih buruk, orang ketiga ini hanyalah seorang kameramen.

"Orang yang satunya lagi, laki-laki juga?" tanyanya lagi.

"Hmm ... perempuan, kayaknya. Soalnya rambutnya panjang. Tapi nggak tahu, deh. Kan saya udah bilang, nggak jelas, nggak ingat," jawab si pramusaji, mulai merasa risih.

Perempuan? Swinger? Tidak masuk akal. Kalau memang swinger, seharusnya Alma membawa pasangan juga. Mungkin pria itu memang penyuka threesome dengan dua wanita dan satu pria. Dada Robi terasa panas dan ia mulai mengutuki sosok laki-laki yang membawa Alma itu. Namun ia segera menghentikan spekulasi-spekulasi liarnya. Terlalu banyak skenario kotor yang bisa ia bayangkan dalam benaknya. Lagipula, ada kemungkinan pramusaji di hadapannya itu hanya salah lihat.

"Boleh lihat rekaman CCTV-nya?" Robi mencoba menekan, sekali lagi.

Pramusaji itu mengerutkan kening. Tampaknya permintaan Robi kali ini sudah keluar batas. Seorang pria berpakaian kemeja putih dan mengenakan name tag—mungkin seorang manajer—datang dan menghampiri mereka. Ia meminta Robi pergi ke kantor polisi.

"Kalau memang ada orang hilang, sebaiknya Bapak lapor ke kantor polisi," ucapnya sambil mengarahkan Robi ke luar ruangan dan memberi kode kepada petugas keamanan.

Merasa malu dan panik, akhirnya Robi mengatakan bahwa ia ingin memesan makanan. Dengan asal tunjuk, ia memesan sebuah beef burger dan minuman cola. Setelah mendapatkan pesanannya, ia segera keluar dari ruangan restoran sambil merasakan tatapan curiga dari sang manajer dan para pramusaji di belakang punggungnya.

Di tempat parkir, ia sempat berbicara dengan seorang tukang parkir. Ia kembali menunjukkan foto Alma di ponselnya. Laki-laki berkumis tebal itu mencoba mengingat-ingat, seolah sangat peduli dengan masalah yang dialami Robi. Akhirnya, ia mengatakan bahwa ia memang pernah melihat perempuan di dalam foto itu, meski tak benar-benar yakin.

"Ada dua orang," katanya sambil mengelus-elus kumisnya sendiri.

"Benar cuma dua orang? Bukan tiga?" tanya Robi.

"Kayanya sih dua, ya. Yang perempuan tadinya duduk di belakang, terus pindah ke depan. Kaca jendelanya dibuka, terus mereka makan di sini. Kadang-kadang ada orang yang kayak gitu, biasanya karena di restoran penuh atau mereka emang pengen berduaan aja," jawabnya.

Robi sedikit bernapas lega. Kalau hanya dua orang, kemungkinannya menjadi lebih sempit.

"Mereka ... baik-baik aja? Maksudnya ... cuma makan biasa?" tanya Robi lagi. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kekhawatirannya.

"Biasa aja. Makan sambil ngobrol. Saya cuma lihat sekilas, nggak enak juga kalau dilihatin terus."

Sejak tadi, Robi memang sempat mempertimbangkan omongan si manajer restoran. Tak ada salahnya melapor ke kantor polisi. Namun ia memutuskan bahwa ini masih terlalu cepat. Tidak ada bukti bahwa Alma memang sedang berada dalam bahaya. Apalagi jika mempertimbangkan kesaksian si tukang parkir, tampaknya Alma memang baik-baik saja.

Kalau ia melaporkan masalah ini ke polisi, ini bisa menjadi bumerang buat Alma. Bukankah sama saja ia melaporkan Alma atas aktivitas prostitusi? Ia bisa menebak bahwa dalam kasus seperti ini, tentu Alma sebagai perempuanlah yang akan terpojokkan. Nama dan fotonya akan disebarluaskan oleh media, sementara si lelaki hidung belang akan dengan mudahnya menghilang.

Akhirnya, Robi memutuskan untuk menyantap burgernya di parkiran sambil mengobrol dengan Pak Kumis si petugas parkir. Ia akan menghabiskan waktu beberapa menit lagi sambil memikirkan langkah selanjutnya. Sesekali, ia membuka ponselnya dengan satu tangan, lalu melihat beberapa pesan masuk dari Nadin. Perempuan itu menanyakan apakah Robi sudah berhasil menemukan Alma, tapi Robi enggan membalas.

Di dalam lubuk hatinya, memang ada dua orang yang ia salahkan atas menghilangnya Alma saat ini. Orang pertama tentu adalah dirinya sendiri, si lelaki brengsek yang melarikan diri dari tanggung jawab dan membiarkan hidup perempuan yang ia sayangi hancur berantakan. Orang kedua adalah Nadin. Andai Nadin tak mengajari Alma cara melacur online, mungkin Alma masih tidur di kamar kostnya sekarang--bukannya tidur dengan om-om hidung belang entah di mana.

Ya, mungkin masih di kamarnya kostnya, tapi dengan mulut berbusa karena menenggak Baygon. Suara sinis Nadin tiba-tiba saja terbersit dalam benaknya dan membuat Robi geram.

Sesaat setelah ia menghabiskan burgernya, tiba-tiba saja ada sebuah pesan lain yang masuk. Awalnya, ia mengira bahwa itu hanya pesan omong kosong lainnya dari Nadin, tapi ia salah. Jantungnya berdegup kencang ketika membaca nama pengirim pesan itu: Alma.

Dengan jari gemetar, ia membuka pesan dari Alma. Isinya hanya tautan titik lokasi melalui Google Maps. Ia menatap pesan itu selama beberapa detik. Untuk apa Alma mengirim lokasi kepadanya? Tiba-tiba saja semua narasinya tentang "Alma yang baik-baik saja" runtuh berantakan. Jika ia baik-baik saja, tak mungkin ia membagikan lokasinya.

Robi mencoba menelepon Alma. Namun yang menjawabnya hanyalah suara perempuan yang berkata bahwa nomor telepon yang ia tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Ia mencoba menelepon kembali. Lima kali berturut-turut dan ponsel Alma tetap tak aktif.

Setiap kali ia menatap pesan itu, ia seperti mendengar jeritan minta tolong. Tak ada jalan lain, ia harus mendatangi lokasi itu. Tangannya gemetar ketika membayangkan bahaya apa yang sedang dialami Alma saat ini. Dengan tangan yang gemetar itu, ia memeriksa tonjolan di balik jaketnya yang sejak tadi selalu terasa mengganjal. Masih ada, pikirnya. Benda itu, benda yang ia curi dari lemari ayahnya, rencananya memang hanya akan ia gunakan jika situasi benar-benar berbahaya. Mungkin saat itu akan tiba. Mungkin.

Tanpa membayar uang parkir, Robi langsung menaiki sepeda motornya. Ia menempelkan ponselnya pada sebuah phone holder yang pernah ia pasang sewaktu dulu ia iseng bekerja sampingan sebagai ojek online.

Sepeda motor Robi melesat meninggalkan area parkir restoran cepat saji. Pikirannya berkecamuk membayangkan apa yang akan ia temukan di titik lokasi itu. Namun untuk sementara, ia harus menyingkirkan ketakutannya dan sekali lagi menerjang malam. Mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan.

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now