10: Celah

2.5K 259 28
                                    

Alma terbangun dalam keadaan telanjang. Selembar selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. Di sebelah kirinya, ia melihat seseorang lelaki yang sedang tidur memunggunginya. Punggung itu terasa familiar baginya. Ia segera teringat dengan kejadian yang menimpanya sesaat sebelum ia kehilangan kesadaran.

Alih-alih menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, Alma malah melempar selimut itu dan segera melompat keluar dari tempat tidur. Kepalanya terasa berputar-putar selama beberapa saat, tapi ia memaksa kakinya untuk melangkah mundur hingga punggungnya menempel pada dinding kamar.

Setelah pandangannya berhenti berputar, Alma menyadari bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang temaram. Satu-satunya cahaya datang dari sebuah lampu meja di sudut kamar. Ia merasa mengenal kamar itu, tapi tak bisa mengingatnya dengan jelas. Mungkin kamar itu hanyalah sebuah kamar hotel biasa dengan desain standar, atau ia memang pernah menginap di situ sebelumnya.

Matanya kembali tertuju pada laki-laki yang tertidur di atas tempat tidur. Dugaan pertama yang muncul dalam kepalanya adalah bahwa ia telah diperkosa oleh Said. Ia sempat ragu apakah istilah "diperkosa" merupakan istilah yang tepat, sebab ia yakin bahwa ia telah menjual dirinya, dan ini adalah transaksi yang sah.

Ia memeriksa sekujur tubuhnya; tangan, payudara, perut, kaki. Ia tidak menemukan bekas luka atau perlakuan kasar lainnya. Ia juga tidak merasakan sakit pada kemaluannya sehingga ia menduga bahwa transaksi itu telah berjalan mulus. Namun ia ingat, semua itu terjadi saat ia dalam keadaan tak sadar. Pada dasarnya, ini tetaplah pemerkosaan.

Alma masih sibuk memeriksa sekujur tubuhnya saat suara gesekan seprei terdengar pelan. Said membalikkan badan. Tubuhnya sedikit lebih kekar dari yang Alma ingat, dan ketika wajahnya tampak, ia sadar bahwa laki-laki itu bukanlah Said. Itu laki-laki lain dalam hidupnya.

"Kok udah bangun?" ucap lelaki itu.

"Rob?" bisik Alma pelan.

Ia sulit percaya bahwa laki-laki yang ada di hadapannya adalah Robi; orang yang pernah ia cintai sekaligus paling ia benci, yang telah melarikan diri dari tanggung jawab, yang menjadi sumber dari segala malapetaka dan kehancuran hidupnya.

"Kenapa?" tanya Robi, seolah tak berdosa.

"Nggak apa-apa," jawab Alma. Dalam hati, ia ingin sekali mencabik-cabik Robi, tapi nalurinya mengatakan bahwa situasi ini terlalu ganjil.

Ingatannya mulai kembali. Ia ingat bahwa ia pernah menghubungi Robi dan mengirimkan lokasi GPS-nya. Setelah itu ia kehilangan kesadaran. Apakah itu artinya Robi telah menemukannya, kemudian menyelamatkannya? Lalu kenapa mereka berada di tempat ini?

Sekeping memori mencuat dalam benaknya. Kamar hotel ini mungkin adalah kamar tempat terakhir kali ia bercinta dengan mantan pacarnya itu.

Robi duduk di atas tempat tidur. Ia memandangi Alma sambil menaikkan alisnya, seolah perempuan itu terlihat sangat aneh baginya.

"Kamu mimpi buruk lagi?" tanyanya. Kali ini ia menghembuskan napas panjang, seperti merasa maklum sekaligus kasihan kepada Alma.

Mimpi buruk? Lagi? Alma mencoba mengucapkan pertanyaan itu, tapi mulutnya kaku. Isi pikiran dan tubuhnya tidak berjalan beriringan.

Robi bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan mendekat ke arah Alma. Tubuh Alma secara refleks mencoba melakukan penolakan, tapi ia tidak bisa mundur lagi. Ia hanya bisa memalingkan wajahnya hingga tangan Robi tiba-tiba saja menarik tubuhnya ke dalam pelukan.

"Alma," bisiknya. Napasnya terasa menyapu telinga Alma. "Aku harus bagaimana?"

Alma masih tidak membalas pelukannya. Ia biarkan kedua tangannya menggantung seperti tangan boneka yang tak berdaya.

Robi kembali berbisik. "Aku udah minta maaf. Aku udah berubah. Kamu bilang, kamu mau kasih aku kesempatan kedua? Sekarang aku di sini. Ini kesempatan kedua kita."

Kata-kata Robi terasa menggerus jantung Alma. Ia segera membalas pelukan laki-laki itu, kemudian ia menangis.

"Tapi kamu ninggalin aku. Kamu nggak tanggung jawab. Kamu nggak peduli. Kamu ...."

"Itu masa lalu, Alma sayang," potong Robi sambil memeluknya dengan lebih erat. "Masa lalu yang selalu kamu putar ulang dalam mimpi buruk kamu, nyaris setiap malam. Semua itu nggak nyata."

Semakin erat dekapan Robi di tubuhnya, semakin banyak air mata yang keluar dari mata Alma. Ia merasa seperti sedang diperas dan sekarang sari patinya mengalir keluar dengan deras. Meski begitu, ia tidak bisa memahami apakah air matanya merupakan air mata kesedihan atau kelegaan. Alangkah leganya bila semua yang ia alami hanya mimpi buruk belaka.

"Ternyata kamu juga sama, Alma," ucap Robi lagi. Kali ini suaranya menjadi lebih berat.

"Sama? Maksud kamu?"

"Sama. Kamu juga ingin lari. Kamu juga nggak bisa menerima kenyataan. Kamu juga menyimpan mayat di dalam bagasimu dan kamu berniat menguburnya selama-lamanya kalau kamu bisa." Suara Robi semakin berat dan pada ujung kalimatnya suara itu berubah menjadi suara lain yang Alma kenal.

Alma berusaha melepaskan dekapan laki-laki itu, tapi tubuhnya kembali ditarik dengan kuat. Kepala Alma ditekan ke pundak sang laki-laki hingga lehernya terasa sakit. Ia semakin sulit bernapas. Udara yang mengalir ke hidungnya kini dipenuhi oleh aroma parfum yang terasa seperti bau rerumputan—rerumputan dan tanah basah, seperti pekuburan yang baru tersiram hujan.

"Ada banyak skenario kalau kamu ingin lari, Alma," ujar suara itu lagi, suara Said. "Misalnya, bagaimana kalau saya katakan bahwa semua yang kamu tahu tentang dirimu adalah ilusi? Kamu pikir, kenapa kita bisa bertemu? Kenapa kamu mau masuk ke dalam mobil saya? Kenapa kamu nggak segera kabur sewaktu kamu curiga bahwa saya adalah seorang pembunuh? Kenapa handphone-mu mati? Kenapa kamu ... begitu mirip dengan Melinda?"

Alma berusaha berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah erangan tertahan. Ia tidak mau meresapi kata-kata Said. Ia tahu bahwa kata-kata itu hanya mencoba mempermainkannya, tapi suara Said seperti tentakel-tentakel kecil yang masuk ke dalam telinganya dan menelusup ke dalam tempurung kepala.

"Itu karena," bisik Said lagi, "karena kamu adalah Melinda. Kamu adalah hantu. Kamu sudah mati. Kamu gentayangan dan nggak bisa menerima kematianmu. Perempuan bernama Alma hanyalah ilusi yang kamu buat."

Tiba-tiba Said melepaskan pelukannya. Ia mendorong Alma hingga terlempar jauh, terjatuh ke dalam lubang besar yang sebelumnya tak ada di sana. Semakin Alma masuk ke dalam lubang itu, semuanya terasa semakin gelap, hingga akhirnya ia mendaratkan punggungnya pada sebuah lantai keras dan dingin.

Alma mencoba bangkit, tapi tubuhnya terbentur atap yang sangat rendah. Ia memukul-mukul atap itu dan mendengar suara benturan besi, tapi atap itu bergeming. Ruangan itu lebih sempit dari yang ia kira.

"Bohong! Itu semua bohong!" teriak Alma. Suaranya memantul dan memekakkan telinganya sendiri. Napasnya semakin sesak. Ia kekurangan oksigen.

Ia tidak percaya bahwa dirinya adalah hantu Melinda. Semua itu terasa seperti ending film horor murahan. Ia nyata. Masa lalunya, kepedihannya, ketakutannya; semua itu nyata. Ia bukan sekadar objek. Kata-kata Said yang menegasikan keberadaan dirinya telah membuat dadanya terasa sakit.

Tak lama kemudian, ada segaris cahaya yang muncul dari atap yang gelap itu, kemudian garis itu menjadi semakin lebar dan berubah menjadi sebuah celah. Dari celah itu, Alma dapat melihat sepasang mata yang mengintipnya dari luar.

"Iya. Tapi sebentar lagi, sebentar lagi," bisik suara dari luar sana.

Sekilas, sebelum ia menghilang, Alma dapat melihat pemilik mata itu memiliki bibir yang indah, dan di kedua sisinya ada sepasang lesung pipi yang dalam. Tanda kutip yang dicetak tebal.

Celah itu membuka semakin lebar. Lama-kelamaan Alma sadar bahwa celah yang sedang membuka itu bukanlah pintu bagasi mobil, melainkan kelopak matanya sendiri.

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now