16: Reuni

102 25 3
                                    

Malam yang paling gelap adalah sesaat sebelum fajar, begitu kata orang. Namun dini hari ini terasa cerah bagi Said dan Melinda yang tengah bersuka cita setelah lama tak bersua. Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan rendah, sepasang suami istri itu berkaraoke menyanyikan lagu Koes Plus.

"Andaikan kau datang kemari, jawaban mana yang 'kan kuberi. Adakah jalan yang kautemui, untuk kita kembali lagi."

Tangan kiri Said menggenggam tangan kanan Melinda, sambil sesekali mereka saling lirik dan tersenyum. Suara Said tidak terlalu merdu ketika bernyanyi, tapi ia tampak percaya diri untuk mengeraskan suaranya, bahkan sesekali berteriak fals. Ia seperti anak kecil yang kegirangan saat diajak bertamasya oleh keluarganya.

Kalau sudah begitu, Melinda akan mencoba mengambil alih dan mengembalikan nada suara mereka ke jalur yang benar. Tampaknya bukan hal yang mudah, sebab Melinda masih harus membiasakan diri menggunakan organ-organ tubuhnya yang baru itu. Pita suara, tenggorokan, rongga mulut, dan bentuk bibir Alma tentu berbeda dengan miliknya sendiri.

"Bersinarlah bulan purnama, seindah serta tulus cintanya. Bersinarlah terus sampai nanti, lagu ini kuakhiri."

Tak lama kemudian, lagu itu berakhir. Siaran radio beralih ke tembang kenangan lain, Jangan Ada Dusta di Antara Kita oleh Broery Marantika. Sayangnya, baru memasuki intro lagu, sinyal radio mulai memburuk dan alunan nada itu berubah menjadi kebisingan. Said memutuskan untuk mematikan radio dan lanjut bersiul. Alma ikut bersenandung dan mencoba mengubah nyanyian mereka menjadi konser a capella.

"Selamat datang kembali, Sayang," ucap Said sambil melirik ke arah Melinda, sesaat setelah mereka lelah bersenandung.

Melinda tersenyum mendengar ucapan Said, tapi kemudian mengurungkan senyumnya itu.

"Kenapa?" tanya Said.

"Senyumku nggak seindah dulu, ya?" tanya Melinda kembali.

"Tetap indah, kok. Yang penting kan, apa yang ada di dalamnya," jawab Said.

Mendengar respons itu, Melinda malah memalingkan wajah ke jendela.

"Harusnya kamu tuh cari tubuh yang lebih cantik lagi. Yang ini terlalu kurus. Tepos," gumam Melinda sambil meraba buah dadanya sendiri--buah dada Alma--dari luar bajunya. "Aku juga nggak suka dia punya tato. Kaya perempuan nakal."

Suasana menjadi sedikit hening. Terdengar suara Said yang menghela napas, mencoba menenangkan diri. Ia mengerutkan keningnya, seperti sedang berpikir keras.

"Maaf, Sayang," ujar Said, kemudian menelan ludah. "Itu mustahil."

"Kenapa mustahil?" balas Melinda.

"Cuma ini yang bisa aku dapat. Aku udah coba cari perempuan lain yang secantik dan seindah kamu, tapi nggak pernah ketemu. Akhirnya aku nyerah. Aku sampai pada kesimpulan ... bahwa di seluruh dunia ini memang nggak ada yang secantik kamu," ucap Said sambil mengerlingkan matanya.

Melinda terdiam, tapi kemudian memukul pelan bahu kiri Said dan tertawa. "Gombal banget! Bisa-bisanya gombal dalam situasi kaya gini. Nggak pernah berubah!"

Said ikut tertawa lega.

"Memangnya dari dulu aku gombal, ya?" tanya Said sambil menahan tawa.

"Dari pertama kali ketemu juga udah gombal. Bos macam apa yang bisa-bisanya ngegombalin karyawan baru?"

Seolah terpancing mengingat masa lalunya, Said tak sanggup lagi menahan tawa. Ia terkekeh geli dengan ingatannya sendiri.

"Kalau dipikir-pikir, semua ini lucu, ya?" ucap Said sambil mengatur napasnya lagi. "Kisah cinta kita sebenarnya klise banget. Pengusaha muda yang tampan dan sukses jatuh cinta dengan gadis polos—mirip novel-novel cewek zaman sekarang yang banyak di internet itu."

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now