6: Kursi Belakang

2.8K 308 39
                                    

Mobil sedan itu berhenti di tepi jalan menanjak. Lampu hazard berkedip-kedip, memberi isyarat kalau-kalau ada mobil lain yang tak menyadari keberadaanya. Said menarik napas panjang, lalu membuka pintu di sebelah kanannya. Sebelum menutup pintu itu kembali, ia sempat menoleh ke arah Alma dan menatapnya dalam.

"Jangan keluar," ucap Said, nyaris hanya berupa gerak bibir.

Setelah melihat Alma mengangguk, ia pun menutup pintu mobil, lalu berjalan ke arah bagasi sambil setengah berlari.

Detak jantung Alma sama sekali tak pernah melambat sejak pintu bagasi itu terbuka sendiri tiba-tiba. Napasnya tertahan, seribu pertanyaan memukul-mukul dadanya. Ia memutar badan, berusaha mengamati Said lewat kaca belakang mobil. Laki-laki itu nyaris tak terlihat dari tempat duduk Alma, tapi ia dapat merasakan mobil yang dinaikinya itu bergoyang-goyang.

Pintu bagasi menutup sebagian. Samar-samar ia dapat melihat wajah Said, kemudian pintu itu mengangkat lagi. Goyangan yang ia rasakan menjadi lebih kasar. Sepertinya, ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam bagasi itu. Kini Said berusaha keras untuk memasukkannya kembali dan menutup pintu bagasi. Sesuatu itu mungkin sudah mati, mungkin masih hidup, mungkin sudah mati lalu hidup kembali. Alma tak berani menyaksikan lebih lanjut, ia tidak siap menerima kemungkinan terburuk. Ia kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil dan menarik napas dalam-dalam.

Selama beberapa saat, ia terus merasakan guncangan-guncangan dari belakang mobil yang membuatnya mual. Ia tahu, secara psikologis, ia memang pernah merasa bahwa nyawanya sudah tidak berarti. Ia ingin bunuh diri, ingin menjual diri, menyakiti diri sendiri; dan baru saja beberapa menit yang lalu ia merasakan setitik harapan dari laki-laki bernama Said. Apakah semua itu cuma harapan palsu? Apakah sebaiknya ia pasrah saja? Bukankah ia sudah tidak peduli?

Pada situasi seperti ini, semua pertanyaan pesimistis itu terpaksa mundur ke belakang, sementara nalurinya untuk bertahan hidup mengambil alih. Ia melepaskan satu teriakan kecil dari mulutnya, lalu membuka pintu mobil tanpa banyak berpikir lagi. Sayangnya, ia terlambat.

Lengannya dicengkeram dengan kuat dan ditarik menjauh dari pintu mobil. Tanpa ia sadari, Said sudah berada di sebelahnya, di depan kursi kemudi. Semuanya terjadi begitu cepat, seolah kesadarannya sempat timbul tenggelam, seperti lampu mobil yang masih berkedip-kedip. Alma tak sempat melawan ketika Said mengunci pintu mobil.

"Pintu bagasinya rusak," ujar Said sambil memasang sabuk pengaman, "terbuka sendiri kalau ada guncangan."

Alma terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan itu. Dalam benaknya, ia menyalahkan diri sendiri. Andai saja ia bergerak lebih gesit saat membuka pintu tadi, mungkin ia masih sempat melarikan diri. Atau mungkin, ia bisa bertindak lebih cerdas dengan mengunci pintu mobil dari dalam, mengambil alih kemudi, kemudian membawa kabur mobil itu (dan apa pun yang ada di dalam bagasi) menuju kantor polisi. Namun penyesalan selalu datang terlambat, dan kini satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mencoba bersikap tenang.

"Itu tadi ... Melinda?" tanya Alma sambil berusaha menyembunyikan getaran di nada suaranya.

Said tidak menjawab. Ia menginjak pedal gas dan mobil itu mulai melaju pelan di bahu jalan.

"Mayat Melinda?" tanya Alma lagi.

Bukan, katakan bukan. Cuma itu satu-satunya titik terang yang ia harapkan.

"Ya."

Dingin. Jawaban Said begitu dingin dan lurus.

Alma hanya membutuhkan konfirmasi singkat itu untuk membuat sekujur tubuhnya lemas. Sesuatu yang dingin merayap dari kaki hingga rongga dadanya. Ia mengambil sisa cappuccino-nya, kemudian meneguknya hingga habis—minuman itu sudah dingin dan entah mengapa rasanya menjadi lebih pahit. Ia tak bisa bepura-pura tenang, sebab gelas karton di tangannya itu tampak bergetar hebat. Serangan panik itu seperti anak panah yang tiba-tiba saja melesat menghunjam titik-titik kesadaran di otaknya.

"Saya bukan orang jahat," ujar Said tiba-tiba.

Kedua tangannya mengenggam kemudi dengan sangat erat, seolah ingin mematahkannya. Air mata mengalir deras dari sela-sela kacamatanya.

"Setiap kali pintu bagasi itu terbuka," ucap Said di sela isak tangisnya, "rasanya saya mau mati."

Alma menyaksikan laki-laki yang semula terlihat tenang itu kini hancur berkeping-keping. Tangisannya berubah menjadi rintihan, kemudian menjadi erangan yang tak sanggup ditutupi oleh suara tembang-tembang kenangan dari radio. Ledakan emosional itu mulai mereda sekitar lima menit kemudian. Said mengelap kacamatanya dengan bagian bawah kemeja, kemudian menghela napas panjang.

"Kamu mau bantu saya?" tanya Said dengan suara yang mulai kembali datar.

"Apa lagi?" balas Alma. Ia belum menjawab apakah ia mau membantu Said menguburkan mayat istrinya, dan sekarang apa lagi yang ia inginkan?

"Kamu duduk di belakang, awasi jangan sampai pintu bagasi itu terbuka sendiri lagi. Saya khawatir sudah enggak bisa fokus lagi, dan pintu itu kadang-kadang enggak ada suaranya."

"Sekarang?"

"Iya. Jangan khawatir. Saya akan bayar semua utang kamu, berapa pun."

Alma menoleh ke belakang, kemudian melompat melewati sela-sela kursi depan. Tubuhnya mendarat di jok belakang, di dekat pakaian kotor dan tas kecilnya yang ia tinggalkan sejak pertama kali masuk ke dalam mobil.

"Thanks, Alma," ucap Said sambil tersenyum kepada Alma lewat kaca spion tengah. Bisa-bisanya senyum itu terlihat begitu tulus dan manis.

Alma tidak menjawab. Lidahnya masih terasa kaku. Sesuai permintaan Said, ia pun mengawasi bagian belakang mobil. Tubuhnya merinding membayangkan bahwa saat ini ia berada lebih dekat dengan mayat Melinda. Jika benar yang membuka pintu bagasi tadi adalah arwah penasaran Melinda, mungkin arwah itu sekarang sedang berada di sekitarnya, mengamatinya dengan matanya yang merah melotot penuh dendam atau malah menangis meratapi kematian tragisnya.

Alma memang belum pernah melihat hantu semasa hidupnya, tapi ia percaya bahwa sesungguhnya manusia jauh lebih berbahaya daripada hantu jenis apa pun. Oleh karena itulah, ia merasa bahwa kursi belakang jauh lebih aman daripada kursi depan.

Mobil melaju di lajur kiri. Alma duduk menyamping di jok belakang, sambil matanya sesekali mengawasi bagasi dan jalanan yang lengang. Semakin banyak kilometer yang mereka lewati, semakin ia merasa sudah tak bisa kembali.

"Om yang bunuh dia?" akhirnya suara Alma bisa keluar dengan lancar.

"Iya," jawab Said singkat, tanpa menoleh atau melirik.

"Kenapa?"

Said mengecilkan volume radio yang sedang memutar lagu Killing Me Softly versi jazz.

"Dia selingkuh," jawabnya singkat, tapi dengan suara yang lebih rendah dan berat. "Kamu tahu, Alma? Sepanjang hidup saya, saya selalu melakukan apa yang orang-orang anggap benar. Sejak kecil saya jadi anak penurut, saya rajin belajar, saya lulus kuliah cum laude, saya kerja cari uang dengan keringat dan tenaga saya sendiri, lalu melamar perempuan yang saya sukai dengan cara terhormat. Hidup saya lurus. Lurus seperti jalan tol ini. Nggak ada yang salah. Ya, kan? Tapi kenapa? Kenapa!"

Suara Said melemah ketika ia mulai menceritakan tentang sosok laki-laki yang berselingkuh dengan istrinya. Ia tidak sudi menyebut nama laki-laki itu, tapi ia mengenalinya: mantan pacar Melinda yang konon ia tinggalkan sesaat sebelum menerima lamaran Said.

"Setiap kali saya pergi ke luar kota, mereka bertemu. Di mal, di hotel, bahkan di rumah! Kalau bukan karena cerita dari tukang sampah perumahan, mungkin saya nggak akan pernah tahu," lanjutnya.

Alma tidak tahu bagaimana menanggapi curahan hati itu. Andai saja cerita ini ia dengar dalam kondisi lain yang tidak semengerikan ini, ia mungkin akan bersimpati dengan Said dan mencoba menghiburnya bahwa di dunia ini masih banyak perempuan lain yang jujur dan setia. Namun simpati kepada seorang pria yang membunuh istrinya sendiri bukanlah hal yang mudah ia berikan.

"Gilanya lagi, meski saya sudah tahu semua itu, saya nggak bisa apa-apa. Saya tetap sayang sama dia, saya tetap cinta sama dia. Saya pikir, semua ini akan selesai dengan sendirinya. Saya pikir, dia bakal sadar dan berubah sendiri, tapi nggak!"

Said yang ada di hadapan Alma sekarang tampak seperti orang yang berbeda. Ia bukan lagi sosok tenang dan lembut yang beberapa menit lalu sempat membuat Alma nyaris jatuh hati. Saklarnya sudah tertekan, dan ia menyala. Entah apa yang akan ia lakukan dengan energi yang meluap-luap itu.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang