"Aku ingin membicarakan sesuatu."

"Aku tidak peduli."

"Kau akan peduli setelah mendengarnya."

"Aku tidak ingin."

"Tapi kau perlu."

"Aku sama sekali tidak membutuhkannya. Bahkan aku tidak pernah memintanya."

"Allegra, dengarkan aku––"

"Kubilang, aku tidak peduli." aku menggeram, tanpa sedikit pun berbalik untuk melihat eksistensi Cara yang begitu keras kepala. "Aku merasa tidak perlu mendengar apapun darimu. Aku terlalu muak mendengar penjelasan dari orang lain, bisakah kau mengerti? Satu hal yang perlu kau tahu, Cara. Aku merasa cukup kenyang dengan omong kosong."

Hening.

Perkataanku terbalas oleh embusan angin. Hanya sunyi yang menguar hingga aku merasa bahwa semuanya sudah berakhir. Aku tidak peduli dengan reaksi Cara di belakang sana. Yang kulakukan setelah berbicara seperti itu padanya hanyalah tetap diam. Bahkan aku merasa tidak perlu untuk berbalik dan menatapnya. Aku tidak butuh apapun. Aku benci membahas segalanya. Aku butuh diam dan sendiri.

"Allegra,"

"Aku bilang cukup."

"Menyebalkan!" tiba-tiba kudengar Selena bersuara. Dan tanpa diduga, dia menarik bahuku. Semua berlangsung begitu cepat hingga tubuhku dibalik secara paksa. "Kami datang secara baik-baik. Kami berusaha untuk bicara padamu sebaik mungkin. Tapi, demi Tuhan, Allegra. Bisakah kau menghargai kami sedikit saja!?"

Kini aku beranjak dari posisi berbaring, lantas melihat eksistensi Cara dan Selena yang duduk tepat di depanku. Mereka berdua menatapku dengan pandangan yang... sulit diartikan. Aku tidak tahu. Bisa kulihat kedua mata Cara yang tampak berkaca-kaca, sial. Ini pertama kalinya aku melihat Cara tampak begitu menyedihkan. Sementara Selena, dia melihatku dengan tatapan terluka. Gadis itu tampak murka dan aku bersumpah dia lebih menyeramkan dari boneka hantu.

"Aku tidak meminta kalian untuk datang dan berbicara baik-baik padaku."

"Kau!"

"Aku tidak peduli. Apapun, oke? Apapun. Aku tidak peduli apapun."

"Allegra, kami temanmu. Kau berlagak seperti primitif dan itu sangat rendahan. Kau seakan hidup sendiri dan selamanya akan seperti itu! Apakah kau bodoh!? Hah? Kau tidak lihat jika kami datang untuk membantumu!?"

Holy shit. Apa yang ia bicarakan?Mendengar semua omong kosong Selena, aku menggeleng. "Hentikan."

"Aku selalu berusaha mengerti bagaimana sifatmu. Aku tahu kau terluka, kau kecewa oleh banyak hal. Namun sialnya, kau semakin menyebalkan dan semua ini membuatku muak." ceracau Selena dengan napas tersendat. Kedua matanya menyipit, menatapku dengan tatapan asing diikuti telunjuknya yang bergerak menunjuk eksistensiku. "Kau buta dan tidak bisa membedakan letak ketulusan orang lain. Ini sudah terlalu lama, Allegra."

Apa dia bilang? Apa dia baru saja mengataiku bodoh? Begitu? Apa Selena baru saja merendahkanku dengan omong kosong yang tidak berguna? Ketahuilah, dia hanya orang tolol yang tidak tahu apapun. Ketulusan dan hal persetan lainnya hanyalah semu. Jika dia baru saja mengataiku buta karena tidak bisa melihat ketulusan dari orang lain, lantas apa? Tahu apa dia soal ketulusan? Bahkan aku pernah melihat Cara dan Justin yang bercumbu di atas sofa.

Persetan dengan semua itu.

Ingin sekali aku menghampiri Selena lalu menampar wajahnya, atau meninju perutnya hingga dia muntah. Atau mencekik Cara dan menendang bokongnya hingga memerah seperti pantat bayi. Dan setelah itu, aku yakin mereka akan pergi. Namun entah mengapa, aku merasa keberanianku tertahan oleh sesuatu. Dan itu membuatku gila. Aku... sial. Aku merasa jika aku... aku butuh penjelasan lebih dari omong kosong Selena.

SOMETIMES [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang