BAB 21

192 25 1
                                    


AWAL bulan ke sembilan, Aira sudah siap dengan satu koper yang cukup besar. Maklum, Aira membawa banyak baju di dalam koper tersebut. Juga kamera polaroid dengan kertas isi ulangnya.

Tak lupa, Aira membawa kamera SLR-nya untuk mengambil foto-foto bagus disana. Ah, foto senja yang Aira idamkan selama ini sebentar lagi akan ia jepret sendiri, menggunakan kameranya, dan tidak lagi googling atau sekedar melihat di explore instagram.

Arga membantu Aira menggeret kopernya menuju pekarangan rumahnya, dimana pak Salam siap mengantarkan dirinya ke bandara. Dirinya, Angkasa, Valerie, dan Gilang akan bertemu di bandara, terminal keberangkatan domestik. " Cie yang mau jalan-jalan, jangan lupa oleh-olehnya ya, Ra," Aira manggut-manggut mengiyakan permintaan Arga, sementara Arya di ambang pintu utama rumah megah ini tersenyum ke arah Aira, lalu menghampiri dua anaknya.

" Anak Papa mau jalan-jalan," tutur Arya sambil tersenyum tulus. Aira menyukai cara Arya tersenyum, seolah energi positif dalam diri laki-laki tersebut mengalir deras dalam tubuhnya dalam beberapa detik. Laki0laki berkepala empat itu memeluk erat tubuh Aira, berharap anaknya baik-baik saja disana. " Video call abang atau Papa ya kalau udah sampe, terus kabarin terus posisi kamu," pesan Arya sambil terus mencium kening Aira.

Arya tidak mau kehilangan Aira, sama sekali tidak mau. Aira adalah Audy kedua bagi Arya, aura Audy sangat terpancar di wajah Aira. Aura hangatnya, senyumannya, Arya merindukan sosok malaikat yang seharusnya mendampinginya hingga tua itu.

Audy menggigit bibirnya kala sahabatnya yang kebetulan seorang tata rias dan tata busana pengantin adat Jawa menghiasi wajah dan tubuhnya. Tubuh Audy di balut kebaya putih yang menjuntai, di tambah riasan yang natural khas adat Jawa membuat Audy terlihat lebih cantik dari biasanya.

" Cantik banget kamu, dy," puji Ainun sambil tersenyum, tangannya mencengkram kedua bahu Audy pelan. Sahabatnya kini melepas masa lajangnya, dan Ainun cukup senang, karena Audy mendapat seseorang yang memang pantas mendapatkan Audy.

" Kalau Arya jahat sama kamu, telepon aku, biar aku tendang kemaluannya," Audy terbahak mendengar perkataan Ainun yang berlebihan.

Kini Audy di datangi oleh ayahnya yang akan mendampinginya di sisi Audy ketika berjalan menuju tempat dimana akad nikah berlangsung.

" Pa, aku takut," ucap Audy sambil menggenggam erat kedua tangan Rudy, kini keringat dingin membasahi tagan Audy membuat gadis itu semakin gugup. Rudy mendekap Audy, membuat air mata kini berjatuhan membasahi pipi Audy yang sudah terlapisi riasan yang cukup tebal. " Aku gak mau Papa s–sama Mama sendiri gak ada aku. Aku gak mau Papa sama Mama hari tuanya gak ada aku," Rudy menggeleng sambil tersenyum hangat. " Kamu adalah anugerah terindah yang pernah Papa dapatkan, sebelum Mama. Papa mau kamu bahagia, memiliki keluarga, sayang."

Audy menarik napasnya berat, sambil berusaha tersenyum walau kesedihan tidak bisa ia tutupi lagi.

Di luar, Audy bisa mendengar Arya sedang membacakan ijab qabul, yang senantiasa mempersatukan mereka berdua kelak. Audy tersenyum tipis, setelah Arya sudah mengucapkannya dan di balas kata 'sah' oleh para undangan. " Papa merelakan kamu dengan orang yang benar, Dy. Papa sayang banget sama kamu, bahagia ya sama Arya. Papa tahu dia anak yang baik," tutur Rudy sambil menggandeng tangan Audy. Kini keduanya berjalan menuju figur Arya, Suci, penghulu, dan para saksi berada. Audy berusaha tenang, walau jantungnya rasanya ingin copot.

Setelah Audy duduk, Arya tersenyum tipis, " Hai, istri," sapa lelaki itu sedikit gugup. Audy menahan tawa dan senyumnya, " Hai juga, suami."

Aira tersenyum ketika sepanjang perjalanan Arya menceritakan proses akad nikah antara dirinya dengan Audy. " Mama waktu itu cantik banget, Papa aja sampe gak bisa nahan senyum lagi," puji Arya sambil tertawa.

Airisya,Where stories live. Discover now