BAB 11

240 24 3
                                    


PAGI di hari Sabtu, Aira mendapati dirinya tertidur di atas tempat tidur Angkasa bersama Kirana, adik Angkasa. Kirana tertidur pulas di pelukannya, sementara Aira tidak mendapati Angkasa di penjuru kamar.

" Nyenyak tidurnya?"

Aira bingung, sementara Angkasa terbahak memandang ekspresi Aira. " Enggak, gue tidur di sofa ruang tengah kok. Lo ketiduran pas Kirana lagi dongeng," jelas Angkasa sambil menaruh nampan berisi sarapan untuk Aira dan Kirana di nakas.

Gadis itu mengusap wajahnya, mengumpulkan kesadarannya sementara Angkasa memposisikan dirinya duduk di samping Aira. Mata Aira kini memandang lurus, ke balkon kamar Angkasa. " Semalam lo kecapean banget–"

" Aaaa.." Kirana menjerit histeris, dengan cepat Aira membangunkan Kirana dan gadis berumur empat tahun itu menghambur ke pelukan Aira. Tangis bocah itu luruh bagaikan air terjun, membuat Aira dan Angkasa bingung harus menanyakan apa.

" Kenapa sayang?" tanya Angkasa sambil mencium puncak kepala Kirana. Tetap, gadis itu bungkam seolah semua jawaban itu telah di lahap abis oleh angin. Aira menangkup pipi Kirana. " Ceritain sayang, biar aku bantu."

Kirana menghapus air matanya, dadanya naik turun tak beraturan. " Aku mimpi Papa meninggal," ucap Kirana di iringi tangisan. Angkasa diam, tak berkutik, sementara Aira sama kagetnya dengan Angkasa.

Jodi beberapa hari ini memang kesehatannya menurun, bahkan Jodi sering kali menyebutkan nama Yanti, mendiang istrinya dalam tidurnya membuat Angkasa miris. Ibu tirinya dengan teganya masih saja mengurus pekerjaannya dan adik tirinya juga tak pernah mengabarinya.

Elena Saphira: Papa kenapa, sa?

Elena Saphira: kamu tolol banget sih gak jawab

Angkasa Wijaya: lebih tolol mana, lo atau gw? Papa udah sakit dari beberapa hari yang lalu dan lo masih aja tetep ngurusin kuliah? Kirana abis mimpiin Papa meninggal. Goblok lo.

Setelah itu, pesan Angkasa hanya dibaca oleh saudari tirinya itu membuat emosinya memuncak. Sejahat itukah adik tirinya dan ibu tirinya? Tiket mahal? Angkasa bisa membelikannya untuk flight hari ini.

Uang bisa di cari, tapi kehidupan tidak bisa di tukar oleh uang.

Aira menatap Angkasa yang kini terisak. Aira tidak pernah melihat Angkasa sangat sedih seperti ini. " Sa, kenapa?" Angkasa lupa, ia belum pernah menceritakan tentang ibu baru dan saudari barunya itu. " Enggak, gue sedih aja liat Papa sakit," kata Angkasa berbohong, menyembunyikan semua luka yang tergores di hatinya.

" Gue takut mimpi Kirana jadi–" Aira menggeleng sambil mendekap Angkasa, " gue gak pernah ngajarin lo buat berpikir negatif."

Tapi lo gak tahu apa-apa, Ra.

***

Prang.

Putra membanting satu piring putih di dapur mambuat suasana rumah ini mencekam. Liona hanya bisa menangis, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Alviero yang hendak menampar istrinya itu langsung di tahan oleh Gilang.

" Ayah gak berhak nampar Bunda!" Gilang menarik tangan ibunya menuju keluar rumah dan mengajaknya pergi ke Apartemen, menghindar dari situasi mencekam itu. Jujur, Gilang tahu ibunya tidak bersalah, hanya firasat Alviero saja yang mengada-ada.

Putra pernah melihat Liona mengobrol dengan banyak lelaki di restoran, dan kejadian itu awal dari retaknya hubungan keluarga yang dulu awalnya bahagia.

" Gilang tau laki-laki yang Bunda temuin di restoran teman-teman seangkatan Bunda dulu, jadi Bunda gak usah khawatir." Liona mengangguk, mengusap air matanya dengan tisu. Gilang membelokkan stir kemudinya menuju pekarangan rumah tantenya untuk mengambil si kembar, Valerin dan Valerie. Valina dan Valerie adalah adik Gilang yang terpaksa Gilang titipkan pada tante Fiona karena jika Gilang tinggal bersama Valerin dan Valerie di apartemen, ia tidak cukup memiliki waktu untuk mengurusi keduanya walau kedua gadis itu sudah kelas sembilan.

Airisya,Where stories live. Discover now