Monolog Itu Apaan Sih, Gagal Paham?

2.6K 359 79
                                    

Pagi.

Kurang lebih ceritanya saya mendadak kepilih jadi panitia sebuah acara perpisahan di sekolah saya, dan itu tuh ngagetin banget. Karena pertama, saya kurang kompeten, dan kedua, saya ditugaskan mengurus "closing act" daripada acara perpisahan ini.

Alamak. Terakhir dari yang paling akhir, brads. Monang amat.

Karena enggak ada ide ini penutupan mau buat apa, akhirnya pilihan pun jatuh kepada monolog. Masalahnya saya sendiri enggak ngerti monolog itu kayak gimana... (Yang anak sastra atau maniak teater plis kirim bantuan)

Disokong dengan fakta bahwa saya bosen ngelihat acara perpi yang penuh tangisan buaya, maka saya memutuskan buat bikin teks monolog yang kayak stand up comedy. Lengkap juga dengan mencari pembaca monolog yang paling ngasla dan kocak. Lah lah lah.

Yaudah, nih deh. Baca aja. Buat kamu juga yang kebetulan lulus tahun ini. Selamat menempuh hidup baru Y. Kalau masih ngejombs ya, gpp.

***

Selamat sore, temanku!

Apa ada yang penasaran, alasan kenapa sekarang kita harus gelap-gelapan begini? Biasanya kalau gelap, yang item makin item. Yang ngantuk makin ngantuk. Yang laper makin laper. Yang...

Tapi nih ya, menurut saya pribadi, kegelapan ini justru mengingatkan saya pada masa saya pertama kali bertemu kalian dulu. Rasanya tuh persis begini. Hitam, gelap. Warna daripada absen cahaya. Kenal kanan enggak, kiri apalagi. Ke mana pun saya meraba, saya rasakan sekadar asing yang kentara.

Namun, seiring berjalannya waktu, kalian yang tadinya tiada, berubah jadi cahaya. Sementara suka-duka yang kita lalui, laksana prisma. Yang mendispersi seberkas nur jadi pancaran multiwarna. Yang masing-masing membawa sendiri kisah dan makna. Tidak sulit bagi saya membedakan antara merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu; yang setiapnya saya kenal baik sebagaimana saya mengenal kalian. Baper dah.

Nah, pertanyaannya sekarang, memangnya kalian tahu siapa saya?

Mungkin ada sebagian, yang sudah mengenal baik diri saya, atau bahkan sudah muak ketemu saya, dan tahu persis siapa saya hanya dari mendengar suara. Mungkin ada lagi sebagian yang cuma cengo terus mikir, ini makhluk astral bawel amat sih. Bisa cepet engga ngomongnya. Gue mau pulang tauk. Lu kira pake kebaya gampang?

Slo sob, enggak apa-apa kok. Pertama, saya udah biasa diginiin. Kedua, saya cuma mau bilang, sadar enggak sih: Tiga tahun itu panjang, tapi bisa-bisanya ya, ada yang masih enggak kenal gue?!

Oke sip, bukannya gue jumawa. Kenyataannya memang enggak semua pria ditakdirkan seganteng Zayn Malik, jadi yang namanya nasib ya diterima aja.

Yang penting nih: barangkali buat temen-temen saya yang udah saya ajak tertawa bareng, menangis bareng, dan ngetawain temen yang lagi nangis bareng selama setahun ini, perpisahan ini bakal jadi menyedihkan buat kita. Namun, gimana buat temen yang interaksi kita sebatas "Assalamualaykum akhi" di grup yang anggotanya 300 orang? Apakah gue cuma setitik debu di dalam galaksi?

Resapi dalam-dalam deh, kira-kira berapa ribu kesempatan yang dengan mudahnya kamu lewatkan tiga tahun ini. Berapa orang yang bisa aja udah jadi sahabat kalau pernah kamu coba dekati. Berapa ulangan yang niatnya diambisin tapi gajadi. Berapa kode keras yang dilancarkan tapi tanpa respon si doi. Berapa maaf yang hampir terucap tapi terlanjur gengsi.

Teman, gue enggak pengen, di perpisahan ini, kalian mikir kayak gitu.

Sebaliknya, gue berdiri nyaru sama gelep ini, mau mengajak kalian melihat kesempatan-kesempatan yang ada di depan sana. Bisa aja, hubungan kita bakal berubah. Enggak ada yang bisa menyangkal juga kan, misalkan nanti gue jadi bos kalian. Atau musuh kalian. Atau orang stress di pinggir jalan yang enggak mau kalian akuin temen. Atau pengennya sih, suami idaman masa depan?

Atau mungkin lusa kamu sudah lupa. Karena apalah aku, yang cuma satu kali pertama di antara banyak kali pertamamu yang sudah berlalu, dan kali pertamamu yang sedang menunggu.

Masa depan emang beda-beda. Bukan kita yang ngatur. Bukan kita yang punya hak buat tahu. Hanya, jangan tanya gue 'masa depan' ini adanya di mana. Karena gue juga enggak tahu. Satu-satunya hal yang bisa gue bilang cuma: Pergi sana!

Iya, ini ngusir. Pergi sana. Jangan sedih. Jangan nangis. Enggak usah kangen. Kejar cita-cita kamu. Kalau lagi senang, kamu enggak usah khawatir soal keadaan saya, saya enggak apa-apa. Kalau lagi sedih, kamu boleh ingat kelakuan saya yang paling malu-maluin sampai kamu senyum lagi.

Pergi sana, walaupun cuma di sini, rumah kita.

Pergi sana, walaupun cuma di sini, saya sepenuhnya percaya.

Pergi sana, walaupun cuma mulut yang berkata, sementara hati ini nelangsa.

Kamu tahu kenapa masa SMA itu enggak ada gantinya?

Sebab cuma di sini, enggak peduli kamu punya duit atau enggak, ngewarisin perusahaan atau enggak, punya pendapatan cukup atau enggak, asalkan kamu asik pasti dijadiin temen. Nyari calon suami aja liat-liat gaji dulu, lah masa iya kamu milih temen dari gajinya?

Kapan lagi kita cuma berlomba buat nilai, bukannya berlomba buat dapat proyek. Kapan lagi kita cuma ngutang semangkuk bakso, bukannya kredit mobil, motor, sampai sesuap nasi buat keluarga lo. Kapan lagi kita cuma rebutan pacar, bukannya rebutan suami? Loh?

Jadi takdir, tolong jaga temanku ini.

Ke mana pun dia pergi nanti, tinggi atau rendah, susah maupun mudah, tolong jaga ia. Supaya tetap bahagia. Supaya hatinya tetap baik layaknya hati anak SMA.

"Apa masa terindah dalam hidupmu?" adalah sebuah pertanyaan ajaib, karena dijawabnya harus di masa depan.

Meskipun sejujurnya saya enggak peduli apakah kamu mmenganggap apakah masa SMA ini masa terbaik dalam hidupmu atau enggak; Cuma kalau seandainya suatu hari nanti kamu kecelakaan, terus gegar otak, terus amnesia, dan dokternya bilang kamu hanya bisa mengingat sebuah masa yang paling indah dalam hidupmu:

Saya mau kamu ingat saat kita semua pakai putih abu-abu.

Dari kami, mengakhiri acara kita yang terakhir.

(Selamat mendaki lebih tinggi!)

Jujur Aja Deh [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang