#1 Buat Kamu Menulis itu Apa?

8.3K 866 211
                                    

Patut diakui bahwa saya, kamu, dan semua yang lagi membaca tulisan ini, harusnya semuanya manusia. Dan sebagai manusia, wajar pula kalau ada satu hal yang mau sampai akhir zaman juga tidak mungkin kita taklukkan. Apa itu?

Benda ini, gaes, namanya Kuasa Tuhan.

Jujur aja deh, sebelum saya melanjutkan ngelantur, ayo kita ngaku, sebagaimana enggak semua orang di dunia ini dilahirkan secakep Natalie Portman, enggak semua orang pula diberkati dengan keahlian untuk menulis. Ralat, enggak semua orang ditakdirkan mampu merantai kata-kata mutiara yang bisa buat para wanita menggelepar di lantai nangis darah dan para pria sekuat tenaga mempertahankan benteng pertahanan terakhirnya demi menjaga harga diri. Barangkali kamu enggak jago. Barangkali saya juga enggak jago.

Nah, tetapi soal "menulis", menurut saya ya, enggak juga.

Karena menulis itu bukan berarti kamu harus memaksa orang gelepar-gelepar. Menulis itu... artinya kamu berusaha menjelaskan apa yang ada di dalam pikiranmu ke dalam benak orang lain. Menyatukan pikiran, hati, dan jiwa ke dalam satu kesatuan terpaut cinta. Asek. Apaan sih.

Nah, tapi saya serius. Di sinilah indahnya menulis, menurut saya. Karena seorang manusia, yang normalnya menanggapi sebuah kejadian menggunakan reseptor yang berupa lima indera--oke enam, kalau kamu spesial--kini cuma diberi satu saat ia sedang membaca, yaitu penglihatan. Menge-scan kalimat-kalimat dalam cerita. Sisanya diberikan kepada otak, untuk menginterpretasi sendiri, 'apa sih kira-kira yang mau disampaikan si penulis ini?'

Jadi... ayo kita kembalikan lagi kepada niat awal. Menulis itu, semacam komunikasi yang dijembatani oleh pikiran masing-masing. INGAT, kalau kamu penulisnya, kamu berusaha mengubah sebuah peristiwa menjadi rangkaian kata-kata, sementara kalau kamu pembacanya, kamu merekayasa ulang peristiwa yang disajikan penulis dalam bentuk kalimat menjadi panggung drama mini dalam... otak-otak kalian yang lucu. Your funny little brains. No shit, Sherlock.

Simpel, kan?

Enggak, justru inilah mengapa dia enggak simpel.

Menginterpretasi kalimat penulis, sama seperti bermimpi. Pada dasarnya, kamu cuma mengulang apa yang sudah kamu ketahui atau alami selama entah-berapa-tahun kamu sudah bertahan hidup.

Sekarang kasusnya begini, misalkan saya seorang penulis dan saya mau memperkenalkan kepada kamu sebuah makanan yang namanya "Sup Nanas Kobra".

Saya jamin kamu enggak ngerti itu benda maksiat apaan. (Kalau ternyata beneran ada, ya sudah, kamu diam saja dulu dan pura-pura enggak tahu sana)

Kemungkinan hal pertama yang muncul dalam pikiran kamu, setelah mengernyitkan dahi, adalah sebuah pertanyaan umum: "Apaan tuh dan rasanya kira-kira gimana, ya?" "Bentuknya sup... tapi bisa meliuk-liuk, gitu?" Bisa jadi di lidahmu langsung muncul sensasi 'hollow' rasa nanas dan hangat-hangat rasa sup (lebih greget lagi kalau kini ada yang sampai langsung melesat cari kobra buat dimasak). Ingat, ini karena kamu pernah makan nanas dan sup, beginilah cara otakmu belajar menghadapi sesuatu entitas yang asing dan baru.

Oke. Jadi ini yang mau saya tunjukkan: tugasmu sebagai penulis, adalah memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tadi. Karena saya penulisnya, dan kamu pembacanya, maka saya rajanya dan panggil saya Cartoonize-sama. Enggak deng, maksudnya saya yang menentukan definisi dari sup kita yang kontroversial ini.

Maka saya beri tahu: [indera penglihatan] sup ini warnanya merah. [indera penciuman] baunya asam, seperti bau nanas pada umumnya, tetapi ada sesuatu yang toksik di sana. Janggal. Seperti bau dinding yang baru dicat. [indera perasa] tercicip sepercik asam nanas, kemudian sesuatu yang pedas dan asin, mirip sambal. Sedikit pahit yang kadang kamu temukan kalau sedang minum jus alpukat di pinggir jalan.

Gimana? Sekarang sudah berasa belum supnya?

Enak enggak? Ehehehe. Cie muntah.

Masalah pertama terselesaikan, nah, kini muncullah masalah kedua. Gimana kalau ternyata pembaca kamu belum pernah makan nanas seumur hidup dan enggak tahu rasanya gimana?

Menurut opini saya... inilah dalang utama mengapa seringkali genre romansa atau fiksi remaja jauh, jauuuuh lebih laku dibandingkan genre paranormal atau science-fiction. Sebab, sementara kebanyakan orang--oke, jujur aja, kebanyakan perempuan--sudah khatam memahami seluk-beluk jatuh cinta dan patah hati; jauh lebih sulit memaksa otak menerima dan mencerna informasi apocalypse virus H7N7 di Jakarta tahun 2045. Kayak... ribet, gitu. (Nanti bagian ini punya chapter sendiri)

Tapi ingat! Kamu penulis, dan kamu enggak boleh menyerah! Bangun jembatan jiwa itu antara kamu dan pembaca kamu. Maklumi mereka. Memang, genre science-fiction itu kesannya bener-bener fana, karena plis deh kalau dipikir logis; enggak ada satupun penulis science-fiction atau fantasy yang benar-benar sudah mengalami apa yang mereka tulis. 

Jujur aja deh, kalian para penulis itu ngasal. Ngasal yang positif dan beresensi.

Maka dari itu, jangan lupa bahwa imajnasi semua orang itu enggak semuanya sama. Enggak semua orang pernah kuliah kedokteran dan tahu tepatnya bagaimana virus H7N7 itu disebarkan lewat kentut sapi dan masuk lewat pori-pori kulit, menyerang organ vital dan mereplikasi diri. Buat kalimat yang mudah dan bisa dimengerti.

Enggak lupa buat kalian yang para penganut romansa dan dramatisasi cinta! Jangan mentang-mentang kalian menulis soal pacaran, bisa dengan mudahnya bilang, "dari tatapan matanya, aku tahu dia mencintaiku." Karena kalimat itu fakmeen, fakmen rasis banget untuk jomblo-jomblo tua seperti saya.

Tidak semua orang tahu rasanya dicintai, broh. Tidak semua manusia peka, kawan-kawan. Di dunia ini banyak Jotunn-Jotunn menyamar jadi Midgardian. Layaknya lirik tembang More Than Words, "it's not the words I want to hear from you." Maka tunjukkaaann, tunjukkan para author apa rasanya dicinta. Nafas yang mendadak tercekat itu. Bagaimana bersama dengan si doi itu rasanya bak lima menit terakhir menunggu giliran naik rollercoaster. Excited. Menerka-nerka. Meneguhkan niat. Mengucur keringat dingin. Kepingin kencing.

Bukan hanya sekedar, 'jantungku berdegup cepat', karena kalau begitu artinya semua novel tentang bad boy itu sama dan kita semua statusnya plagiator publik. Be explorative. Barangkali sesungguhnya keahlian menulis itu bukannya keahlian merangkai kata, melainkan keahlian menganalisis sifat manusia menjadi sesuatu yang bisa dinikmati pembaca.

...yah, jadi begitulah pendapat saya kira-kira. Jujur aja deh, buat saya inilah arti menulis. Kalau buat kamu?

Jujur Aja Deh [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang