Nasi goreng.
"Hanya tentang kapan waktu akan menyatukan aku dan kamu menjadi kita"

       Lagu Say you wan't let go bergeming di indra pendengaran milik Aresh. Terkadang ia ikut bernyanyi. Aresh kemudian menyambar buku sejarah yang tergeletak di atas meja belajar miliknya. Membuka lembar demi lembar buku tebal itu. Menyebalkan baginya untuk belajar sejarah. "Arghhh" lalu ia melemparkan buku sejarah ke atas kasur empuk berseprai warna biru miliknya. "Tuh cowok sialan emang". Aresh masih sebal dengan kejadian tadi. Cowok itu malah kabur lari dari Aresh yang sudah geram. Salfa membujuknya agar kembali ke kelas. Apa boleh buat, Aresh tak bisa menolaknya. Jika saja cowok itu tidak lari, mungkin saja tinju telah sempurna meluncur pada wajahnya. Menyebalkan bagi Aresh. Aresh berlalu melihat jam dinding berbentuk lingkaran, bunyi tiktok terdengar ketika Aresh mematikan lagu dari handphonenya. Jam itu menunjukan pukul  delapan malam. Perutnya kosong, Aresh lapar. Kemudian ia bangkit dari kursi kayu tua yang masih kokoh untuk menopang tubuhnya. Lalu membuka pintu dan keluar dari kamarnya. Rumahnya sepi, wajar jika sepi karena kedua orang tua Aresh sedang ada bisnis ke luar kota. Ditambah mereka tak mau mempekerjakan pembantu rumah tangga, jadilah Aresh sendiri di dalam rumah besar itu. Ia berjalan menuruni tangga menuju dapur. Lalu membuka pintu kulkas. Tidak ada makanan. Aresh menghela nafas panjang. Lalu ia beranjak pergi ke ruang tengah. Membuka sebuah pintu Almari berwarna putih dan mengambil uang RP. 100.000 dari dalam dompet berwarna hitam. Kemudian ia berlalu mengambil kunci motor di dalam laci berwarna cokelat tua. Aresh beranjak keluar, tidak lupa mengunci pintu rumahnya. Berjalan menuju motor ninja merah miliknya yang di parkirkan di depan balkon rumah.  Ia mulai menyalakan mesin motor lantas pergi menuju tempat makan favoritenya.

Bahir masih tenggelam dalam soal Fisika yang diberi bu Tere. Pekerjaan ini harus ia selesaikan malam ini juga karena besok harus dikumpulkan. 40 soal Fisika rumit itu baru selesai saat jarum jam menunjukan pukul  delapan lewat sepuluh menit. Bahir menghela nafas lega saat semua soal itu telah ia kerjakan. "Bahir!" Seruan itu bergeming di telinga milik Bahir. Cowok itu lantas keluar dari kamarnya, berjalan menuju orang yang ia yakini memanggil dirinya. "Apa mah?" Tanya dirinya saat melihat mamahnya sedang mengobrak-abrik isi kulkas. "Ini loh, bahan makannya abis, mamah lupa belum belanja, kamu beli makan diluar aja yah". Bahir menalan ludahnya, Bahir paling malas keluar malam-malam. "Gak usah deh mah, Bahir gak usah makan malem"

"enggak, ayo cepet siap-siap kamu beli nasi goreng aja di depan situ naik motor"

"Tapi mahh..."

"Udah cepetan!"

Bahir pasrah, ia lalu menyambar kunci motor miliknya.

Aresh memesan satu porsi nasi goreng untuk dimakan olehnya. Lalu ia duduk di kursi plastik berwarna biru. Angin meniup tenda milik warung makan itu. Aresh asyik memainkan ponsel miliknya sembari menunggu pesanannya datang. "Neng Aresh mau minum apa?"

"Teh anget aja mas"

"Oh yaudah"

Aresh memang sering ketempat ini, wajar bila penjual mengenali paras milik Aresh. Satu porsi nasi goreng akhirnya datang lengkap dengan telur mata sapi setengah matang dan kerupuk sebagai pelengkapnya. Aresh mulai menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Sampai akhirnya tangannya berhenti menyuapkan nasi goreng ketika melihat cowok menyebalkan sedang memesan nasi goreng. Tempat duduk Aresh sangat dekat dengan meja untuk memesan makanan. Aresh menatap tajam pada cowok menyebalkan itu. Sadar akan hal itu cowok itu membalas tatapan tajam milik Aresh. 1,2,3... Aresh memutuskan perseteruan tatapan itu. "Ini den Bahir pesenannya" ucap salah seorang pelayan. "Makasih yah mas" mas itu tersenyum samar. "Namanya Bahir" lirih Aresh yang kemudian melanjutkan makan nasi goreng yang sempat tertunda.
                           🥇🥈🥉
  Aresh berlari di koridor kelas, sesekali menoleh ke arah belakang. Pak Janu mengejar Aresh. "Haduh mampus gue!" Lirihnya seraya menyeka keringat yang menitih di dahi. "Aresha sini kamu!". Guru olahraga itu masih mengejar Aresh. Ini berawal saat Aresh tidak membawa baju olahraga. Peraturan pak Janu adalah setiap siswa yang akan mengikuti olahraga diwajibkan mengenakan baju olahraga. Baju Aresh tertinggal di rumah, dan tidak ada orang yang mampu mengantar bajunya. Alhasil dia kabur dari pak Janu karena takut dihukum. "Aresh lo bego banget, ngapain kabur sih" rengek dirinya. Aresh kemudian masuk ke toilet wanita. Ia cepat-cepat membuka pintu toilet dan masuk ke dalamnya, tidak lupa menguncinya. "Aduh gimana nih,mati gue", Aresh kemudian merogoh saku rok abunya, mengambil ponsel miliknya. "Gue telpon Salfa aja deh". Aresh mengetik nama Salfa dan memencet tombol telpon. Bunyi tut...tut... terdengar begitu Aresh menempelkan ponsel ke telinganya. Nihil, Salfa tidak mengangkat telpon dari Aresh. "Aresha! Dimana kamu?!" Seruan ketus dari pak Janu bergeming di telinga Aresh. "Mampus gue".

"Kalian liat Aresh?" Tanya pak Janu kepada siswi yang keluar dari toilet. "Ada pak saya liat ada di dalam" jawabnya. "Sialan siapa sih yang ngasih tau" ujar Aresh. "Aresh kalau kamu tidak keluar, bapak akan kasih SP 2" mendengar ancaman itu Aresh cepat-cepat membuka kunci pintu toilet lalu pergi keluar menemui pak Janu.
"Kamu itu bandel banget jadi cewek!"

"Maaf pak abisan saya lupa bawa baju olahraga"

"Itu derita kamu! Heran bapak sama kamu, seneng banget melanggar peraturan. Coba lihat! Apa-apaan kamu pakai gelang seperti anak berandalan, kaus kaki pendek, berwarna pula! Sekarang kamu keliling lapangan 20 putaran!"

"Hah pak?! Yaa bapak jangan dong"

"Sudah cepat sanah!"

Dengan langkah yang dihentak-hentak ke tanah. Aresh pasrah, akhirnya dia mulai berlari di lapangan itu. Menyebalkan bagi dirinya, haruskah dia berlari 20 putaran mengelilingi lapangan SMA Dergantara yang luasnya bukan main?, ia lebih memilih membaca buku sejarah yang tebal itu dibanding mengelilingi lapangan. Terlebih ia tadi sudah lari seperti dikejar-kejar polisi yang akan menangkap penjahat. Bell istirahat bahkan telah berbunyi, namun Aresh masih belum menyelasaikan larinya. Tersisa 5 putaran lagi, namun kakinya telah mati rasa. Berkali-kali ia terjatuh karena kakinya tak mampu menopang tubuhnya. "Bahir!" Panggil pak Janu, Bahir lalu nenoleh ke arah pak Janu. "Ada apa yah pak?"

"Tolong awasi Aresh yah, bapak ada rapat, masih tersisa 5 putaran lagi"

Bahir mengangguk, lalu ia menoleh ke arah lapangan. Cewek itu, cewek yang pernah ia tabrak bahunya, yang pernah ia injak tali sepatunya, yang pernah melemparkan kaleng minuman ke kepalanya dan yang menatapnya saat membeli nasi goreng. "Namanya Aresh" ujarnya dalam hati. "Pentes songong, rupanya anak bandel" senyum jahil mengembang di wajahnya. "Cepetan dong larinya!" Seruan ketus dari Bahir membuat Aresh berhenti berlari dan menoleh. "Sialan!" , lalu Aresh melanjutkan 2 putaran lagi. Kakinya benar-benar mati rasa, sampai akhirnya benar-benar tak mampu menopang dirinya. Aresh terjatuh, ia mencoba bangkit, namun usahanya gagal. "Sialan!" Teriaknya.
"Mau gue bantu?" Tanya Bahir yang duduk di bangku pinggir lapangan. "Gue gak sudi dibantuin sama orang kaya lo!" Jawaban ketus dari Aresh telah sempurna membuat Bahir naik pitam. Namun Bahir cepat-cepat meredam emosinya. Kemudian Aresh mencoba berdiri kembali, hasilnya sama ia tak berhasil berdiri. Aresh meringis kesakitan. Kakinya tak bisa dipaksa. "Yakin gak mau dibantu?" Tanya Bahir sembari berjalan mendekati Aresh. "Ya...ya...yakin lah!"
Bahir kemudian jongkok, menyesuaikan tinggi badannya dengan Aresh yang duduk. "Gak usah sok gak mau gue bantuin". Bahir menggendong Aresh dengan posisi mengangkat tubuh Aresh di bahu sebelah kanan. "WOY TURUNIN GUE!".

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 16, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MercusuarWhere stories live. Discover now