Bab 6 - Cakra Satria

532 49 4
                                    

Meski sisa rasa minuman hijau berbuih itu masih membayangi lidah, sensasi menghangatkan dan menghanyutkan minuman itu membuai dirinya untuk memejamkan mata, Moses merasa kesulitan. Ada kecemasan yang mengetuk-ngetuk hati supaya otak tak mau istirahat. Warok Belibis menyiapkan tempat tidur menempel lantai untuknya di Cakragraha yang luas. Tidak ada kamar di Cakragraha. Warok Sentadu, Warok Belibis dan Warok Kepik sama-sama tidur di satu ruang luas Cakragraha. Menempati empat sudut garis yang ditarik dari pusat mandala. Mereka tidur di empat penjuru angin. Dalam beratnya mata yang tak mau terlelap, Moses mendapati dirinya bertempat di arah mata angin Utara.

Warok Sentadu tidak berbaring. Ia duduk bersila dengan tenang, tangan beristirahat di atas lutut. Dadanya bergerak perlahan tak kentara, bernapas dalam dan teratur. Matanya memejam khusyuk. Cakragraha diredupkan cahayanya, Moses melihat bayangan Warok Sentadu seperti belalang sembah. Dua Warok yang lain pun tidur dalam posisi duduk bersila. Ada dua mangkuk gerabah berisikan bakaran bunga yang tercium harum di sebelah mereka. Sepertinya ketiga Warok itu bernapas dalam irama yang satu. Moses batal berbaring, ia duduk dan mengamati ketiga Warok itu dan membuatnya lebih tenang. Hembusan samar napas dalam memiliki efek menenangkan aliran darah. Tanpa disadari, Moses melakukan pose yang sama seperti tiga Warok. Warok Belibis berbayangan seekor burung sedangkan Warok Kepik berbayangan serangga bulat. Kepik.

Kecemasannya itu terutama tentang keselamatan Rakila. Ia bertanya-tanya bagaimana Rakila diperlakukan di alam Raikewan. Disekap dalam ruang sel yang sempitkah, digantung di tiang tinggikah, diikat di pohon sementara ada macan yang menggeram di hadapankah, ah semua hal-hal buruk terpikirkan olehnya.

Dengan napas dalam teratur yang ia tiru dari laku tiga Warok, kecemasannya beralih menjadi pemikiran, gagasan, dorongan untuk menjadi pahlawan buat menyelamatkan Rakila. Perlahan ia memejamkan mata.

Tidak tahu ia telah berapa lama waktu yang lewat saat ia melakukan kegiatan meditasi ini, namun ketika ia membuka mata, Warok Belibis sudah duduk bersila sikap semedi di hadapannya. "Meditasi memang membuat tenang." Katanya.

"Iya, di alamku, ada meditasi yang serupa dengan gerakan-gerakan, dan itu harus dilakukan lima kali sehari. Itu lebih membuat tenang." Jawab Moses tenang. Kecemasannya meluruh berganti kepastian.

"Ohya? Kau harus mengajariku kapan-kapan."

"Boleh saja. Kapan waktu subuh?" tanya Moses. Ia melihat langit alam Watukayu tidak pernah berubah, kelam.

Warok Belibis mengernyit. "Subuh itu apa?"

"Sebelum pagi." Di dunia asalnya, Moses tidak pernah luput bangun sebelum subuh untuk menunaikan dua rakaat ibadah.

"Apa itu pagi?"

Moses memutar bola mata. "Apakah di alam ini tidak pernah berubah langitnya? Selalu gelap teruskah?"

Warok Belibis mengangguk. "Oh kau mungkin menanyakan tentang waktu. Memang sangat berbeda alam Watukayu dengan duniamu. Di sini selalu gelap. Penanda waktu yang kami manfaatkan adalah lembaran cahaya hijau di langit. Sekarang ini lembaran hijaunya lagi bersembunyi, muncul di sisi lain."

Ganjil sekali alam ini. Pikir Moses. "Baiklah, kuanggap sekarang ini malam. Tanpa lembaran cahaya hijau. Kapan lembaran cahaya hijau muncul lagi?"

"Sebentar lagi kurasa."

"Baiklah."

"Ngomong-ngomong, sikap meditasimu keliru. Kuajari kau, nanti ajari aku meditasi ala lima waktumu."

Warok Belibis mengajari Moses bermeditasi, meletakkan jari telunjuk membentuk lingkaran bersama jari tengah. Ia juga mengajari ritme pernapasan.

"Bisa kau ceritakan padaku tentang Cakra Satria?" tanya Moses.

"Oh, kau belum mendapatkannya dari Warok Sentadu?"

Moses menggeleng. "Belum. Katanya pelan-pelan. Tapi aku mau tahu sekarang. Tolong jelaskan. Katanya aku adalah Cakra Satria ke-delapan."

"Baiklah, akan kuceritakan. Cakra Satria adalah kumpulan pahlawan yang khusus dikirimkan oleh Baureksa Luhur alam Watukayu ke desa Randucakra. Mereka berjumlah delapan dalam satu siklus. Mereka yang tumbang akan segera digantikan oleh pahlawan berikutnya. Tugas Cakra Satria adalah menjaga desa Randucakra ini aman dari serangan kaum jahat."

"Apa itu Baureksa Luhur?" kata itu asing bagi Moses.

"Baureksa adalah roh baik penggerak alam ini. Mungkin kalau di duniamu, kalian menyebutnya dewa dewi."

"Oh begitu." Moses mengangguk mengerti. "Ohya, tadi kau bilang Cakra Satria ada delapan? Berarti.. yang tujuh sebelumku?"

Warok Belibis mengangguk enteng. "Mereka mati. Tapi hanya raga saja yang mati, dari dulu pun sudah begitu, jiwa sejati mereka selalu tetap hidup mencari raga berikutnya."

"Apakah Cakra Satria selalu dari golongan manusia?"

Warok Belibis menggeleng. "Tidak mesti. Tergantung ke mana larinya pusaka sabuk yang sekarang jadi tato di dadamu. Dahulu kala ketika dimensi masih utuh dan terpisah dari dimensi-dimensi lain, desa kami aman sentosa. Pergeseran itu menciptakan kekacauan. Bintang Cakra Satria yang menjadi pusaka utama desa kami hancur jadi delapan keping, kemudian terhisap ke celah dimensi. Oleh Baureksa Luhur kami dijanjikan pahlawan yang akan membantu tugas Warok demi menjaga Randucakra."

"Apa yang bisa dilakukan Cakra Satria?"

"Banyak. Itu bergantung cara si pahlawan dalam menguasai kekuatannya. Warok Sentadu memberitahuku, kemampuan Cakra Satria tidak terbatas. Yang membatasi mereka hanyalah pikiran-pikiran belaka."

Moses tidak mengerti itu. Ia pikirkan saja nanti. "Ada delapan Cakra Satria, apakah mereka punya julukan khusus?"

"Oh tentu ada. Mereka menyandang nama sesuai dengan Cakra Satria ke berapa yang mereka wujudi. Karena kau yang terakhir, maka gelarmu adalah Astacakra. Artinya Cakra Satria ke-delapan."

"Oh." Moses suka gelar itu.

"Apakah kau Astacakra yang kami cari?"

Moses jelas tidak tahu mau menjawab apa. Semua ini tidak ia minta. Tahu-tahu dapat sabuk antik sebagai hadiah ulang tahun lalu tahu-tahu dibawa ke alam lain dan dicap sebagai pahlawan desa, siapa sangka.

Warok Belibis tersenyum. "Tidak apa-apa. Semua Cakra Satria sebelummu selalu begitu. Sikap kepahlawanan itu tidak diklaim sembarangan. Yang berkoar-koar menganggap diri pahlawan justru diketahui memiliki sikap kebalikan. Kau, bisa kubilang, pahlawan yang semestinya."

"Ah." Lagi-lagi. "Aku hanya ingin menyelamatkan sepupuku."

"Baiklah, terus saja berniat begitu. Kuanggap itu sebagai langkah awal. Nanti kau akan menyadari memiliki tanggung jawab yang lebih dari itu."

Moses menghembus napas panjang. "Akan kuhadapi sajalah. Lalu, bagaimana caranya menjadi Cakra Satria?"

"Dahulu, waktu Cakra Satria pertama kali muncul, ia dapat bimbingan langsung oleh energi luhur alam Watukayu. Berikutnya, Warok Sentadu yang dipercayai untuk mengajari para Cakra Satria. Semenjak siklus ke tiga, Raikewan muncul mengacaukan semuanya. Semenjak itu, Baureksa Luhur memberikan jalan pintas yang menyakitkan namun harus dilalui oleh para Cakra Satria."

"Apa itu?"

"Para Cakra Satria akan direbus di api gunung. Otot dan tulang mereka diganti jadi kawat dan besi."

Moses membelalak. "Seperti Gatotkaca!" ya Tuhan, aku Gatotkaca. "Kapan aku akan melalui itu?" bagaimana rasanya pahlawan favorit dari dongeng sebelum tidur ternyata adalah kau sendiri? Meski Moses tahu Gatotkaca yang dimaksud bukanlah Gatotkaca seperti yang ia kira. Tapi secara ciri-ciri, sama. Ada dorongan ganjil yang tahu-tahu muncul dari dasar dirinya. Dorongan yang membuat semangat.

"Mengenai itu, tergantung titah Baureksa Luhur yang berkomunikasi langsung dengan Warok Sentadu. Biasanya dadakan, saat kau tidak siap."

"Lalu, apa yang akan kulakukan sembari menunggu itu? Masih ada sisa tujuh hari lagi."

"Delapan." Warok Sentadu mengoreksi. "Kau akan belajar yang kau perlukan."

"Baiklah."

Demi Rakila Sunuaji. Sepupu ceroboh kesayangan.   

ASTACAKRAWhere stories live. Discover now