Bab 5 - Persiapan Pernikahan

27.1K 2.7K 35
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


IG @Benitobonita


Minggu pagi sesuai janji aku mendatangi rumah Nina, menunggu di ruang tamu aku mendengar rengekan Kaila. "Kaila ikut!"

"Mama nanti sibuk, Kaila nanti cape," jawab Nina ke putrinya.

"Enggak mau, Kaila ikut! Kaila juga mau pergi sama Mama." Terdengar anak itu mulai menangis.

Aku bangkit dari kursi, memberanikan diri mengintip ke ruang tengah. "Kaila kenapa?" tanyaku menemukan keponakanku sedang duduk merajuk di atas lantai.

Nina menatapku dengan perasaan bersalah. "Maaf ya, Kaila ngambek mau ikut."

"Pali, Kaila ikut!" anak itu berdiri lalu berlari ke arahku, "Kaila bocan di lumah."

"Kaila, jangan nakal!" tegur Mbahnya yang baru keluar dari dapur, "Mama dan Pak Lik sibuk hari ini, kamu di rumah Mbah."

Anak itu bersembunyi di belakang tubuhku. "Enggak mau!" jeritnya menjadi-jadi.

"Kaila!" Kali ini Nina yang membentak keponakanku, wajahnya terlihat letih.

Tidak ingin pertengkaran berlanjut, aku memutar tubuh menatap keponakanku. "Kaila mau ikut?"

Miniatur calon istriku mengangguk dengan wajah kotor ternoda ingus dan air mata. "Cuci muka dan ganti baju, Pak Lik tunggu ya," ucapku mengacak rambut hitamnya.

"Yeeeaa!" teriak Kaila mengangkat kedua tangan girang lalu berlari ke mamanya, "Ma, ganti baju."

Menghela napas, Nina memandang ke arahku. "Maaf ya, jadi ngerepotin."

Aku tersenyum. "Enggak, kutunggu di ruang tamu, ya. Kaila pakai gaun yang cantik."

Anak itu memamerkan giginya yang terawat, menyeringai. Tertawa kecil, aku kembali melangkah ke ruang tamu.

Pintu depan terbuka, terlihat ayah Nina yang masih mengenakan pakaian olah raga masuk ke dalam rumah. "Eh, Nak David, mau jemput Nina?"

"Iya, Pak." Aku menyalam tangannya. "Baru pulang olah raga?"

Tersenyum, Mbah Kung Kaila mengajakku duduk. "Iya, biar sehat, ayo duduk, Ninanya udah siap?"

"Lagi dandanin Kaila, dia mau ikut," jawabku duduk di seberangnya dan bersikap sesopan mungkin.

Calon mertua laki-lakiku memerhatikan wajahku hingga aku merasa canggung. "Nak David, Bapak senang kamu mau nikahin Nina, tapi apa itu cuma karena kewajiban?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menahan napas, terkejut mendapat serangan tiba-tiba, memang karena kewajiban, tetapi rasanya tidak sopan menjawab pertanyaan itu hanya dengan kata iya saja.

"Bapak tau maksud kamu baik, ingin menggantikan Masmu, tapi pernikahan hanya didasari oleh kewajiban bukan suatu hal yang nikmat untuk dijalani. Bukannya Bapak tidak setuju sama kamu, kan kamu malah udah lamaran, cuma Bapak tidak mau putri tunggal Bapak nanti jadi beban buat orang lain."

Aku berpikir untuk memberikan jawaban diplomatis, setelah menelan ludah beberapa kali, akhirnya aku berkata, "Mas Adam memang pernah minta agar aku nikahin Nina, tapi aku sendiri juga setuju, Nina memang perempuan ideal yang aku cari, selain itu, aku juga ingin jadi bapaknya Kaila."

Ayah Nina menarik napas dalam lalu menghembuskannya. "Malang nasib Mas mu, masih muda sudah harus meninggalkan anak istri, malang juga yang ditinggalkan."

Bayang Bayang Janji SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang