Bab 4 - Cincin Pengganti

30.1K 2.8K 68
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


IG @Benitobonita


Satu minggu setelah Nina menerima pinanganku, aku, ibu, dan bapak berkunjung ke rumahnya untuk melamarnya secara resmi. Penyambutan yang diberikan amat ramah. Namun, Nina terlihat gelisah selama proses lamaran, seakan terpaksa menjalaninya.

Kami berdua tidak banyak bicara, berbeda dengan Kaila yang antusias karena semua orang yang menyayangi dia berkumpul di rumahnya.

Setelah acara lamar-lamaran selesai, sesuai dengan permintaanku, maka pernikahan akan diadakan hari Sabtu tanggal 7 Februari 2015 dan sesuai kesepakatan, pernikahan kami tidak dirayakan besar-besaran karena mengenang mas Adam. Hanya pemberkatan di gereja dan mengundang keluarga besar untuk makan-makan di rumah baru kami.

Pamit pulang, aku bahkan tidak sempat berbicara berdua dengannya. Entah kenapa, Nina sepertinya amat sibuk dengan mengurus berbagai hal yang menurutku tidak penting.

Menghela napas, aku mencoba berpikir positif, mungkin dia hanya gugup, selain itu masih banyak waktu dikemudian hari untuk sekadar berbincang-bincang dengannya.

Satu minggu kemudian, Nina dan Kaila tidak berkunjung, alasannya karena mereka sibuk mengurus persiapan pernikahan. Aku menghela napas kecewa mendengar berita itu.

"Kenapa kok mukamu murung?" tanya bapak saat aku menutup telepon dari Nina yang mengatakan mungkin akan sulit berkunjung selama beberapa minggu.

Aku menoleh ke arah bapak dan menghela napas. "Mbakyu bilang mau nyiapin keperluan pernikahan sendiri," jawabku lemas, "padahal sudah kubilang biar kuantar, tapi dia nolak."

"Kok masih manggil Mbakyu, sih?" tanya ibu yang baru saja masuk ke dalam rumah setelah menjemur pakaian.

Aku berdehem, gugup, memanggilnya hanya dengan nama saja membuatku pipiku terasa panas.

"Dibiasakan manggil namanya, kan malu kalau saat acara kamu masih manggil Mbakyu," tegur ibu berlalu ke ruang dalam, mungkin ke dapur.

Bapak tersenyum melihatku salah tingkah. "Ibumu benar, tapi bagaimana bisa kalian enggak ketemuan? Bukannya kalian harus ke gereja ikut katekisasi pra nikah?"

Aku menepuk dahi. "Astaga David lupa, Mbakyu juga kayanya lupa."

"Mbakyu lagi!" Terdengar omelan ibu dari dalam.

Tidak menjawab karena malu, aku mengambil ponsel dari atas meja lalu menekan tanda dial, setelah beberapa kali berdering, akhirnya telepon diangkat, dan terdengar suara Kaila menjawab, "Halo?"

"Kaila, ini Pak Lik, Mama ada?"

"Sebental" jawabnya cadel, "Mama! Pali telepon!"

Aku tersenyum mendengar suara anak-anaknya.

Tidak berapa lama telepon berpindah tangan ke dirinya. "Halo?"

"Mbakyu ..." Aku berhenti bicara dan berjengit sakit setelah mendapat cubitan di punggung dari ibu yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Ni-Nina," ucapku gugup memperbaiki panggilanku, "siang ini kujemput untuk ke gereja ya."

Hening sejenak sebelum dia menjawab, "Iya, Dik."

Hatiku mencelos, aku sudah berusaha memanggil dia dengan nama, tetapi dia masih memanggilku dengan sebutan Dik. "Jam satu siang aku datang, salam buat Kaila," ucapku lalu menutup telepon setelah mendengar jawaban balasan darinya.

Bayang Bayang Janji SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang