Hancur? Tentu. Tidak hanya hancur, kini hati Lily telah luluh lantak. Ia hanya berusaha bertahan hingga usianya genap tujuh belas tahun dan seluruh harta orang tuanya akan kembali, sesuai yang tertera dalam surat wasiat.




Lily terseok-seok. Satu tangan ia gunakan untuk memapah tubuh pada dinding, sedang yang lain memegangi kepala yang tak henti-hentinya berdenyut.

Meski air matanya terus mengalir, bibir mungil Lily melengkungkan senyum kala melihat kucing kesayangannya sudah tertidur pulas di kandang belakang rumah.

"Selamat tidur, Kitty," ucapnya sebelum menutup pintu belakang dan kembali ke kamarnya.

"Hey, Lily, mau ke mana kau?" Belum sampai lima langkah, seorang pria jangkung tiba-tiba mencegat dan langsung mengurung Lily di antara dinding dan tubuhnya dengan kedua lengan.

"Tolong, Evan, lepaskan aku. Aku harus mengobati lukaku," pinta Lily seraya berusaha melepaskan diri.

Namun, Evan malah tersenyum miring kala mendapati tangan dan pelipis Lily yang terluka. Perlahan, Ia mendekatkan wajahnya. "Kau membuat ulah lagi, ya? Sudah kubilang, menurutlah. Terutama denganku," bisiknya sambil mengelus pipi halus Lily yang basah.

"Jangan menyentuhku!" Reflek Lily menepis dengan tangan kanan, tapi dengan mudah Evan menangkap dan mencengkram pergelangan tangannya.

"Ayolah, Lily ... wajah cantikmu itu tidak boleh disia-siakan begitu saja." Evan kian mendekatkan tubuhnya, semakin mengurung tubuh mungil Lily. Membuat gadis itu menutup mata erat dengan tubuh gemetar hebat.

"Evan? di mana kamu? Mama ingin bicara." Seketika mata Lily kembali terbuka. Teriakan itu telah menyelamatkannya kali ini.

Evan mendengus, kekesalan tampak kentara wajahnya. " Iya, Ma, aku datang."

"Kau selamat kali ini, Lily. Tapi tidak lain kali." Bisikan itu mengakhiri penderitaan Lily malam ini.

.

.

.

Angin malam berembus pelan, menerpa wajah Lily yang tengah menatap ribuan lentera di langit gelap melalui jendela kecil tempatnya beristirahat.

Beberapa kali, alisnya tampak bertaut. Meringis menahan perih akibat luka di tangan dan keningnya yang kini terbalut kain seadanya.

Tatapan Lily menerawang jauh, menatap kerlipan bintang. 'Ada yang berkata, jika seseorang tiada, mereka akan menjadi bintang di langit. Apa papa dan mama juga begitu? Apa sekarang kalian juga sedang melihatku dari atas sana?' batinnya mengalun dengan senyuman pilu.

"Lily tidak apa-apa. Lily kuat. Lily akan mempertahankan kenangan kita di rumah ini," lirih Lily sebelum rasa kantuk menggelayutinya, membuatnya terlelap dengan jendela yang dibiarkan terbuka.

Tak.

Tuk.

Tak.

Tuk.

Suara langkah terdengar semakin dekat. Bayangan pria dengan tubuh tegap dan surai panjang yang berterbangan oleh embusan angin tercipta di lantai tempatnya berpijak.

Tak lama berselang, pria itu berhenti. Menatap tubuh Lily yang kini terbuai di alam mimpi.
Tampak rapuh saat meringkuk di atas alas tipis yang menjadi pelindung dari dinginnya lantai.

Mengembuskan napas berat, pria itu berlutut. Membelai puncak kepala Lily dengan lembut,
kemudian beralih pada kain yang membalut keningnya. Saat tangan sang pria mengusap kain itu, keluar kabut tipis yang beberapa detik kemudian menghilang. Begitupun saat ia mengusap telapak tangan Lily.

LILY & The DEMON PRINCE ✔️[diterbitkan]Where stories live. Discover now