Maukah?

210 24 0
                                    

"Tawaran mu laksana air pelepas dahaga di tengah kemarau. Namun, aku ragu, bisakah kita merajutnya menjadi cerita yang berakhir bahagia, sedang pertemuan kita pun tidak bisa dikatakan wajar?"

-Senandung Rasa-

🍑🍑🍑

Pagi ini ditemani secangkir teh hangat yang membunuh hawa sejuk di kerongkongan. Aku tengah bersantai bersama Asiyah di teras rumah. Sembari menikmati udara pagi yang masih asri.

Ciamis dengan nuansa paginya membuatku kembali bernostalgia. Dulu, aku sering pulang kampung ke Ciamis, karena memang keluarga Ayahku berasal dari kota galendo ini, dan Ayah pun memiliki rumah dari peninggalan orangtuanya di sini. Hanya saja, setelah aku beranjak remaja, aku selalu sibuk dengan urusanku sendiri dan ayah yang juga sibuk dengan pekerjaannya. Membuat kami jarang kembali pulang ke Ciamis.

Dan tentang keluarga Ustadz Rahman. Ustadz Rahman adalah sahabat baik Ayah sewaktu kecil dulu. Mulai dari SD sampai SMA mereka bersekolah di tempat yang sama. Hanya saja saat melanjutkan ke jenjang perkuliahan mereka berpisah karena mempunyai cita-cita yang berbeda. Ayah dengan program study ekonomi bisnis, dan Ustadz Rahman dengan program study dakwah islam nya.

Sesekali aku masih terpikir dengan kejadian kemarin malam, di belakang rumah. Namun sebisa mungkin aku berusaha melupakannya. Karena mungkin itu semua hanyalah ucapan lelaki yang dengan gampangnya bisa diobral di mana-mana. Bukannya kebanyakan lelaki memang seperti itu? Menebar jaring sebanyak-banyaknya agar mendapatkan buruan yang banyak untuk mereka pilah?

Dan semenjak kemarin malam juga, aku tidak melihat lagi wujudnya di sini. Dan menurut penuturan Asiyah, sepupunya itu sudah pergi karena ada urusan yang mendadak.

"Ekhem... Ekhem..."

"Ck. Apa sih, Ciya. Kamu kalo batuk, ya batuk aja. Gak usah jaim," kesal ku karena sedari tadi Asiyah selalu menggodaku dengan pura-pura terbatuk seperti itu. Aku tidak tahu, atas dasar apa dia menggodaku. Gadis remaja itu cukup aneh.

"Aahh..., cie..., cie..., yang udah ketemu sama pangerannya."

"Maksud kamu?"

Asiyah terkikik geli, sebelum kembali melontarkan ucapannya.

"Aku tahu, Kak Dira tadi malem dilamar yah, sama A' Akbar?"

Oh, jadi namanya Akbar. Eh, tapi, apa Asiyah bilang tadi? Lamaran? Apa benar yang semalam itu bisa dikatakan lamaran?

"Kamu nguping, ya?" tuduhku, yang dijawabnya dengan sebuah cengiran.

"Iihh..., dosa tau."

"Ya, abisnya aku penasaran. Nanya ke Abi juga gak dapet jawaban. Malah ngejawabnya, "Ciya, kamu masih kecil, belum cukup umur buat tahu persoalan ini." Padahal kan umur aku udah tujuh belas tahun. Masa masih belum boleh tahu urusan orang dewasa sih."

Aku terkekeh melihat bibirnya yang mengerucut. Sungguh gemas.

Aku kembali terdiam, memikirkan spekulasi yang menari-nari di otakku. Mana mungkin secepat itu? Rasanya sangat aneh.

"Kak Dira, boleh gak Ciya kasih masukkan?"

"Apa?"

"Kalo memang bear A' Akbar ngelamar Kak Dira. Saran Ciya sih, terima aja, Kak."

"Why? Apa alasan terkuatnya sehingga aku harus menerima dia, sedang kamu tahu sendiri, kami belum saling kenal?"

Asiyah menegakkan duduknya, "ya, bukannya aku mau memihak A' Akbar karena dia sepupuku. Hanya saja aku tahu bagaimana dia, akhlaknya, dan kesehariannya. Insyaallah dia itu lelaki yang shalih. Aku yakin Kakak juga bisa melihat itu."

Aku menghembuskan napas ku. Ya, aku bisa melihat itu dalam dirinya.

"Dan aku juga yakin, kalo A' Akbar bisa ngebimbing Kakak menjadi lebih baik," lanjut Asiyah.

Sembari mengusap wajah, aku mendesah berat.

"Sudah lah Ciya, Kakak lagi males bahas masalah itu."

"Heuh, aku sih cuma ngasih masukkan aja. Dan selebihnya itu keputusan Kakak."

Aku hanya mengangguk dan kembali memikirkan jawaban apa yang harus aku beri jika memang itu adalah sebuah lamaran. Semuanya nampak abu-abu. Tidak ada kejelasan di sini. Membuatku dilanda dilema harus mengambil keputusan apa.

Lamunanku terhenti saat aku menangkap suara deru mobil yang mulai memasuki pelataran rumah. Posisiku yang sedang duduk-duduk di teras depan rumah bersama Asiyah lebih memudahkan ku untuk melihat siapa yang datang. Aku sangat mengenal mobil itu.

"Ayah, Ibu."

Segera ku dekati kedua orangtuaku dan kucium punggung tangan mereka.

"Assalamualaikum...," ucap Ayah sedikit menyindirku karena melupakan salam.

Aku hanya menampakkan senyum polos sembari menjawab, "waalaikumsalam."

"Om, Tante, silakan masuk," ucap Asiyah kepada orang tutuaku.

🍑🍑🍑

"Kayaknya kamu betah banget di sini. Sampe lupa pulang," ucap Ayah sembari menggodaku.

Saat ini aku, orang tuaku, Asiyah, Ustadz Rahman, Ummi Indah, dan Bang Zikri sedang berkumpul bersama di ruang keluarga.

Aku hanya tersenyum malu dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena memang aku merasa nyaman di sini. Ciamis dengan segala tenang yang melingkupi jiwa.

"Ayah sama Ibu ko gak bilang-bilang Dira kalo mau pulang ke sini?"

"Gimana mau ngasih kabar dulu, kalo tiba-tiba ada yang nemuin ayah terus minta izin buat nikahin anak gadis ayah," jawab Ayah dengan santai dan membuatku terlonjak kaget.

"Rupanya dibalik sikap diamnya anak pendiam itu gerak cepat juga," ucap Ustadz Rahman dengan disertai kekehannya.

"Ma...maksudnya apa, ya?" lidahku terlalu kelu untuk mengucapkan sebuah kalimat tanya itu. Aku butuh penjelasan yang lebih rinci agar semuanya tidak nampak abu.

"Lho, bukannya kamu sudah tahu, Dira. Kata Akbar dia sudah memberitahu mu kalo dia akan mengkhitbah kamu," ucap Ustadz Rahman dengan dahi berkerut.

Dan seketika memori ku kembali memutar kejadian di belakang rumah kemarin malam. Jadi benar, itu adalah sebuah lamaran, bukan hanya hembusan angin belaka.

"Te...terus, Ayah jawab apa?"

"Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar."(HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)"

Bukannya menjawab pertanyaan ku, Ayah malah menyebutkan salah satu hadist.

"Tidak ada alasan lagi untuk Ayah menolaknya. Ayah sudah tahu bagaimana sosok Akbar dari cerita Ustadz Rahman, dan setelah Ayah bertemu dengannya, Ayah yakin kalo dia adalah lelaki yang tepat untuk membimbing dan menjaga kamu. Setidaknya Ayah merasa tenang jika anak gadis Ayah satu-satunya Ayah percayakan padanya," lanjut Ayahnya.

"Tapi tetap, Sayang. Semua keputusan ada di tangan kamu," ucap Ibu dengan menggenggam tangan ku lembut dan seulas senyumnya.

"Beri waktu Dira untuk mengambil keputusan."

🍑🍑🍑

Jazakallah Khair yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita saya :)

🍑Jangan lupa Al-Kahfi🍑

TBC

Ciamis, 09 November 2018

Senandung RasaWhere stories live. Discover now