Kelima

17 6 2
                                    

Sarah menarik nafas dalam-dalam, menghirup betapa segarnya udara pagi setelah lima belas menit berada di dalam meteromini yang dipenuhi anak-anak sekolahnya.

Sarah berjalan masuk, melalui pagar sekolah. Dia membalas banyak sapaan yang diutarakan teman-teman kepadanya. Dia tersenyum, dia selalu merasa senang jika sudah berada di area sekolah. Sarah terus berjalan di tepi lapangan, menuju kearah ruang ujiannya.

Namun sepertinya kini terasa ada yang ganjal, derap kaki mulai terdengar mengiringi langkah Sarah. Sarah menatap kebawah, sepasang kaki bersepatu hitam kini telah berjalan beriringan dengannya. Tepat disebelah kirinya.

Ini bukan sepatu milik Naya, bukan juga milik Reta. Sarah penasaran siapa pemiliknya, akhirnya dengan berat dia mengangkat kepalanya mengarah kepada wajah sang pemilik kaki. Sarah terkejut, rahangnya menguat, matanya lebih terbuka, bibirnya lebih kuat menutup. Sungguh pemandangan awal yang tidak pernah diinginkan.

Laki-laki itu, LAGI. Mengapa harus dia yang mengiringi langkah Sarah di pagi yang cerah ini. Sarah gugup, dia takut juga khawatir. Entahlah, pagi-pagi seperti ini pikirannya sudah kacau. Laki-laki itu lagi penyebabnya.

"Hai." Sapa sang Laki-laki sambil melirik sekilas ke arah Sarah dengan senyuman menyeringai.

"Ya." Balas Sarah singkat, dia mulai sedikit memperlebar langkahnya.

"Jalannya nggak usah buru-buru gitu, lo nggak telat ko." Ujarnya dengan menyeringai.

"Hari ini jadwalnya matematik? Shiit, otak gue pasti ngebul."

"Tapi gue yakin pasti lo paling suka kan pelajaran ini?"

"Lo kenapa sih nunduk mulu jalannya, lo nggak takut nabrak orang apa?"

Sepanjang jalan, laki-laki itu selalu mengoceh sendiri, bagaikan burung beo yang baru diajarkan berbicara. Dia terus mengajak Sarah berbicara, mulai dari membicarakan mata pelajaran, guru pengawas, sampai membicarakan kondisi ruang ujian. Sebenarnya Sarah risih mendengarnya, namun dia tak bisa berbuat apa-apa.

Laki-laki itu berdecak, "Perasaan dari tadi lo nggak pernah bales satu pun pembicaraan gue deh, kenapa?"

Lagi dan lagi, Sarah hanya diam sambil terus berjalan ke arah tangga.

"Hufft..." laki-laki itu menghembuskan nafas kasar. "Lo hidup, lo gerak, lo jalan, mata lo masih bisa ngeliat, mulut lo masih berfungsi, tapi kenapa dari tadi gue ngerasa kaya ngomong sendiri ya? Gue ngajak lo ngobrol, tapi gue seakan ngobrol sama patung bergerak, ataupun sama robot bisu." Ujarnya jengah.

Sarah tersentak, saat dia mulai selesai menaiki satu per satu anak tangga, Sarah mulai menormalkan langkahnya. Entah mengapa seperti ada perasaan bersalah di hatinya, dia telah mengabaikan seseorang. Sarah memang pemalu, namun kali ini dia mulai tidak enak hati.

Laki-laki itu kini telah berjalan lebih dulu di depan Sarah, kini dia tidak lagi mengiringi jalan Sarah. Kini, Sarah yang menatap punggu tegap laki-laki itu.

Sarah sampai di dalam kelas, dia telah menangkap sosok Reta dan... laki-laki itu yang tengah berdiri disamping meja meja mereka. Sepertinya laki-laki itu menunggu kedatangan Sarah. Dengan tas yang masih melekat di punggungnya, laki-laki itu berdiri sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya diatas meja.

Sarah gugup melangkahkan kakinya, namun dia terus memaksa untuk berjalan.

"Hai Sar." Sapa Reta yang telah menyadari kedatangan Sarah.

Sarah membalasnya dengan senyuman lebar. Saat Sarah mulai mendekat, dia mulai memasuki tempat duduknya, Sarah gugup, keringat mulai membasahi keningnya. Dia terus maju dan menunduk.

MarshmelloWhere stories live. Discover now