Ayolah itu sama sekali bukan gayanya seorang Alif. Menghibur hati seorang perempuan yang sedang sedih itu sama sekali tak mungkin Alif lakukan.

____________

Aku memandang buku bertuliskan Big Book of Analys yang kemarin kupinjam dari perpustakaan. Karena mengobrol dengan Pak Gilang aku jadi tak sempat membaca materi waktu itu. Ada sedikit rasa khawatir tentang apa yang dikatakan Kak Salsya. Aku tidak benar-benar yakin dengan perkataanku tadi pagi. Semua itu seperti mimpi buruk.

Kepalaku pening memikirkan jalan keluarnya, ditambah membaca buku ini malah membuatku semakin pening.

"Nafisya ..." Panggil Ummi yang kuyakin suaranya dari arah dapur karena terdengar samar.

"Iya, Mi ?" Aku langsung menutup buku itu dan bergegas turun.

"Ayo kita makan malam dulu. Kamu belum makan kan dari pulang tadi." Ummi hanya membawakan dua piring untuk kami, membuatku langsung menoleh ke arah kamar Kak Salsya. Rumah kami memang berlantai dua, tapi dilantai atas hanya ada dua kamar. Di bagian tengah pun sengaja tidak di bangun. Mungkin mempermudah Ummi kalau akan memanggilku.

"Kak Salsya belum pulang?" tanyaku spontan. Salah besar jika kalian mengira aku tidak sayang pada kakakku itu. Justru aku sangat menyayanginya, perpisahaan kami waktu kecil membuatku semakin menyayanginya. Apalagi dia tulang punggung keluarga, itulah kenapa tamparan Kak Salsya begitu membuatku merasa sakit.

"Dia ada lembur kayaknya," jawab Ummi dengan tak yakin. Aku tahu Kak Salsya pasti tidak pulang karena ucapanku tadi pagi. Dia paling tidak bisa menyembunyikan masalah dan jika dia pulang dia tak sanggup menceritakannya pada Ummi.

"Besok kita silaturahmi kerumah Abi, ya?" tanya Ummi tiba-tiba. Aku menarik nafas panjang mendengar itu. Sepertinya semua orang masih bisa menerima pria itu. Bagiku lebih baik bersikap acuh, daripada aku berpura-pura baik di depan Abi dan kerluarganya. Jatuhnya dosaku menjadi dua kali lipat kalau aku berpura-pura baik.

"Fisya ada jam kuliah sampe sore, Mi," elakku.

"Kakak kamu juga bakalan ikut. Kita kerumah Abi nya malem kok."

"Fisya belum bisa ketemu Abi lagi," kukatakan terang-terangan alasan ku. Aku kembali menolaknya sambil tersenyum tipis kemudian melanjutkan makanku. Ummi tahu seberapa bencinya aku pada pria yang dulu pernah duduk di meja makan ini bersama kami. Pria yang dulu menyuapiku sementara Ummi membuat cemilan penutup.

"Salsya dulu Abi!"

"Fisya duluan ya sayang ... Nanti Abi suapin gantian. Fisya kan masih kecil, makannya masih berantakan," kata Abi.

"Fisya udah gede Abi. Kata siapa Fisya masih kecil. Abi nggak lihat Fisya udah lebih tinggi dari Abi sama Kak Salsya?"

"Masih tinggian Salsya tahu! Kamu kan naik ke kursi," demo Kak Salsya.

"Coba duduk dulu, Sya. Makan itu harus sambil duduk. Nanti jatoh lagi. Dua putri kesayangan Abi pasti tinggi nanti, malah bakal nyaingin Abi tingginya. Kamu harus makan yang banyak biar princess Abi cepet tinggi. Iya, kan?"

Aku menaruh sendok ketika tiba-tiba mengingat semua kejadian itu.

"Fisya udah kenyang, Ummi nggak usah cuci piring. Nanti Fisya cuciin  setelah shalat Isya. Fisya keatas dulu ya." Mendadak rasa sesak itu datang lagi, tidak baik jika aku terus berlama-lama disini, bahkan sebuah meja makan pun masih menyinpan kenangan bersama Abi.

Kadang ingatan masalalu itu selalu muncul seperti film yang di putar ulang. Aku pun naik ke atas dan mengambil wudhu kemudian menenangkan sejenak pikiranku dengan sembahyang isya.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Where stories live. Discover now