Chapter 12

95.4K 6.9K 346
                                    

"Kesadaran datang terlambat ketika tangan kekar itu tak sanggup menjaga ku seperti dulu".

____________

SEJAK pagi Ummi sudah mengingatkanku berulang-ulang bahwa aku harus pulang lebih awal hari ini karena besok akan ada acara syukuran kecil-kecilan di rumah yang akan dihadiri anak panti dan tetangga terdekat. Ummi memintaku untuk membantu persiapannya.

Tapi disinilah aku sekarang, di lantai dua masjid universitas menunggu redanya hujan. Rachel tak menemaniku kali ini. Bukannya ikut jam kuliah selanjutnya dia malah pulang, tapi aku sendiri memang memaksanya pulang ketika dia berkata ibunya sendirian di rumah. Rachel juga bekerja paruh waktu dan hari ini dia kebagian shift malam.

Ada yang pernah mengatakan bahwa waktu luang itu bisa melalaikan seseorang, maka dari itu Aku memilih membuka Al-Quran sambil menunggu hujannya reda. Hafalanku sudah sampai juz dua puluh akan lebih baik jika hafalannya terus bertambah.

Suara lantunan ayat Al-Quran yang kusukai lagi-lagi terdengar dilantai bawah, membuatku merasa semakin tenang dan betah berdiam diri disini. Sudah lama aku mengagumi suara yang entah milik siapa. Ya Allah, jika boleh aku jujur. Aku merasa iri karena ada pria yang membaca kalam-Mu dengan begitu indah.

Suatu saat nanti aku minta, jika ada kesempatan kami berdua untuk bertemu, katakan pada pria itu untuk membacakan surat Ar-Rahman untukku. Saat sedang asik-asiknya mendengarkan, ada panggilan masuk dari Rachel. Biasanya jika anak itu meneleponku pasti ada hal yang sangat penting sekali untuk dibicarakan.

"Sya, nama ayah kamu Husain, kan?" tanyanya membuatku membayangkan wajah Abi.

"Iya, ada apa?" balasku.

"Barusan gue dapet pelanggan. Namanya Pak Husain dan obat-obatannya rada luar biasa. Ayah kamu sakit apa?" tanya Rachel.

"Husain apa dulu? Nama Husain kan banyak," balasku memastikan. Aku tahu dari Kak Salsya kalau Abi punya diabetes.

"Husain Akbar, makanya gue tanyain juga." Awalnya aku masih tidak percaya bahwa resep itu milik Abi. Bisa saja kan nama yang sama dengan alamat yang berbeda, tapi ketika Rachel membacakan alamatnya barulah aku percaya karena yang dibacakan adalah alamat rumahnya Abi.

"Memangnya dia beli obat apa?" tanyaku.

"Obat diabetes sama obat hipertensi. Mana obatnya banyak lagi," jawab Rachel. Aku teringat acara makan malam saat acara lamaran Kak Salsya. Abi sama sekali tak menyentuh sayuran hijau. Apa mungkin Abi punya hipertensi? Mendadak perasaanku menjadi buruk. Segurat rasa khawatir langsung memenuhi pikiranku.

"Kirimin foto resepnya lewat whatsapp sekarang ya," pintaku.

"Sya, kalo-"

Pip.

Aku memutuskan sambungannya secara sepihak dan terburu-buru pergi padahal hujan belum reda. Handphoneku menyala tanda pesan masuk baru dari Rachel. Aku langsung membaca bagian atas resep itu. Disata tertulis Rumah sakit Al Malik. Benar dugaaanku, itu rumah sakit dimana Kak Salsya bekerja.

"Kayaknya Abi punya penyakit serius karena dia bawa kertas rongtgen ke rumah sakit." Kata-kata Kak Salsya membuat pikiranku semakin kacau. Bukannya pulang aku malah berada disebuah rumah sakit besar bertuliskan Al Malik. Aku menanyakan sesuatu pada suster yang tengah berjaga di bagian resepsionis.

"Permisi Sus, apa boleh saya tahu riwayat penyakit pasien?" tanyaku. Jelas permintaanku langsung ditolak saat itu.

"Maaf Mbak, riwayat penyakit pasien cuma bisa diliat sama anggota keluarganya aja," tolak suster itu halus. Aku tidak membawa barang yang dapat menjamin bahwa aku bagian keluarganya Abi. Aku teringat resep obat itu, kucek pesan masuk dari Rachel dan foto itu sudah ada.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang