Chapter 19

77.9K 6.7K 308
                                    

"Saat seorang wanita telah memilih mu sebagai suaminya maka dia telah meletakan kepercayaan akan kepemimpinan mu nanti."

____________

ALIF berdiri di luar ruangan sambil menatap ke dalam dari jendela yang tidak tertutup tirai. Nafisya tak mau meninggalkan ruangan itu, dia mau menemani ayahnya yang sekarang sudah terbujur kaku. Sudah menjadi prosedur rumah sakit untuk tidak melepas peralatan medis selama tiga puluh menit kedepan, karena dihawatirkan detak jantung pasien kembali.

Kahfa sedang mencoba menghubungi keluarga lain, dia juga meminta Nayla untuk pulang karena sebentar lagi jenazah Pak Husain akan di antar ke rumahnya menggunakan ambulan. Alif bahkan tak berani berada di samping Nafisya meskipun beberapa menit yang lalu statusnya telah berubah. Beberapa menit kemudian Alif menyadari seseorang telah berdiri disampingnya.

"Apa semua wali yang minta dinikahin bakal ente nikahin, Lif?" tanya Huda berdiri disamping Alif. Pria itu menoleh dengan wajah yang tengah memikirkan sesuatu.

"Dia beda ..." katanya singkat tanpa menoleh.

"Dan akhirnya, ente nikah juga. Kalo ini bukan suasana berkabung pasti ane udah kasih selamat," kata Huda. Pria itu menepuk pundak Alif.

"Saat seorang wanita telah memilih mu sebagai suaminya maka dia telah meletakan kepercayaan akan kepemimpinan mu nanti. Jadi bukan hanya dia yang harus yakin sama pernikahan ini, tapi ente juga ..." ceramah Huda.

"Ente paling tahu kalau ane gak pernah main-main sama apa yang ane pilih." Tak lama keluarga yang lain datang dengan wajah penuh cemas. Hampir semua menangis kecuali Fadil dan Fadli yang lebih memilih diam, tapi dari raut wajah mereka jelas mereka juga merasa kehilangan.

Keluarga Jidan juga datang kesini. Semua menangis haru di dalam. Saat itu Nafisya lebih memilih duduk di kursi tunggu di luar dimana Alif sudah lebih dulu duduk disana. Dia tak ingin melihat Umminya menangis, hal paling dia hindari selama hidupnya adalah melihat Umminya menangis. Walau disaat-saat seperti ini harusnya dia bersama Umminya, tapi rasanya Kak Salsya lebih bisa menenangkan Ummi.

Jidan keluar dari ruangan tersebut tak lama setelah Nafisya memutuskan duduk berjauhan dengan Alif. Pria itu duduk di kursi paling kanan sementara Nafisya duduk di kursi paling kiri. Jidan menyender pada muka pintu, Salsya keluar setelahnya dengan mata yang tak kalah memerah.

"Sya ..." panggil Salsya.

"Kakak selesaaikan semua registrasinya dulu, biar Abi bisa cepet dianter. Kakak titip Ummi sebentar ya ..." kata Salsya ke arah Nafisya. Nafisya melirik ke arah Jidan menyuruh pria itu mengejar kakaknya.

"Tapi, kalian nanti berduaan gimana?" kata Jidan ketika mengamati lorong ruang ICU itu kosong dan hanya ada Nafisya dengan Alif. Jidan tak mungkin meninggalkan mereka berduaan.

"Nggak apa-apa kok, kita udah sah jadi suami istri," kata Nafisya tanpa menatap ke arah Alif

"Sah?" tanya Jidan dengan wajah kaget.

"Kenap−" Baru saja dia akan bertanya lagi Nafisya sudah memotongnya lebih dulu.

"Temenin Kak Salsya, dia lebih butuh kamu disaat kaya gini ..." Perkataan Nafisya berhasil membuat pria itu pergi secara terpaksa dengan wajah yang ditekuk.

"Fisya nemenin Ummi dulu ya, Pak," kata Nafisya ke arah Alif setelah hanya mereka berdua yang ada di tempat itu.

Alif mengangguk.

____________

Sekitar jam lima pagi, Abi baru bisa diantar menggunakan ambulan. Aku merasa pening karena terlalu banyak menangis. Setelah shalat subuh di masjid yang tempatnya bersebrangan dengan rumah sakit, Jidan menemuiku. Dia memintaku untuk mengikuti langkahnya katanya ada hal yang ingin dia tanyakan.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang