TIGA

4K 39 0
                                    


Seperti hari-hari sebelumnya, aku duduk dihalaman rumahku menatap lautan yang indah. Tiba-tiba…

“Masih melamun, dik?” Suara itu lagi-lagi membuyarkan lamunanku.

“Tidak, Mbak. Aku sedang melihat pemandangan yang indah ciptaan Tuhan. Aku paling suka ketika melihat debur ombak membentur bibir pantai. Ah, sungguh indah pemandangan ini.” Kataku menjelaskan.

“Namamu siapa, dik?” Tanya wanita itu.

“Aku Cantika, mbak. Kalau boleh tahu nama mbak siapa ya?” kataku balik bertanya.

“Nama saya mbak Mirah, dik Cantika. Sudah ya, dik. mbak pulang dahulu ya.” Jawabnya sambil tersenyum.

Aku hanya terseyum sambil meratapi kepergiannya.

#############


Sore itu udara sedikit mendung. Angin dari laut menambah dinginnya udara sore ini. Seperti biasa, aku memandangi laut yang nampak dari kejauhan. Ketika sedang memandangi keindahan ciptaan Allah, tiba-tiba kudengar sebuah suara menyapaku.

“Masih memandang laut, dik?” Tanya mbak Mirah.

“Eh, iya mbak. Mbak boleh aku bertanya?” Kataku.

“Iya boleh. Ada apa ya, dik?” Mbak Mirah balik bertanya.

“Mbak seorang penari ya?”

Dengan ragu-ragu mbak Mirah menjawab, “Iya. Memangnya mengapa Cantika?”

“Oh, kalau begitu mbak mau tidak mengajari aku menari? Sepertinya mbak sangat professional. Aku sangat ingin menari. Boleh ya, mbak?” aku sangat berharap bisa diajarkan menari oleh mbak Mirah.

Tanpa suara, hanya dengan senyuman dan anggukan kepala, dia menyetujui permintaanku.

“Ayo! Ikut mbak!” Ajak mbak Mirah.

Tanpa ragu kuikuti langkah mbak Mirah. Aku berjalan di belakang mbak Mirah sampai lupa berpamitan kepada ibuku. Dengan berlari kecil, aku mengimbangi langkah mbak Mirah yang terlalu cepat. Aku heran mengapa mbak Mirah bisa berjalan sangat cepat. Aku menghilangkan pertanyaan yang ada di benaku tentang mbak Mirah yang berjalan cepat sekali. Aku berlari-lari kecil mengimbangi langkah mbak Mirah.

Tak terasa kami sudah berada di sebuah rumah besar yang cukup asri. Rumah ini mengingatkanku pada rumah nenekku di Bandung.

Model rumah tua dengan jendela dan pintu yang sangat besar merupakan ciri-ciri rumah yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Di teras rumah ada dua buah kursi kayu dengan satu buah meja marmer. Persis seperti meja kesayangan nenekku. Mbak Mirah mengajakku masuk ke dalam rumahnya.

Ruang dalam rumah mbak Mirah cukup  besar. Tampak seperangkat kursi tamu jati berukir indah. Di atasnya ada lampu hias yang cukup menarik hatiku.

Di dinding sebelah barat terdapat sebuah kaca besar berukir. Di bawahnya ada sebuah meja berukuran sedang dengan sebuah gramofon serta tampak setumpuk piringan hitam tertata rapih.

“Duduk dulu ya Cantika. Mbak ke belakang sebentar.” Kata mbak Mirah.

“I… iya.. Mbak. Iya.” Kataku terbata-bata karna terlalu asyik memandangi isi rumah mbak Mirah.

Kulanjutkan lagi melihat dinding sebelah selatan. Aku melihat lukisan diri mbak Mirah yang sangat cantik.

Mengenakan kebaya berwarna merah dengan selendang berwarna kuning serta kain batik yang sangat serasi dengan kebayanya.

Aku menoleh ketika mendengar suara degung dari arah belakangku. Lebih terkejut lagi aku melihat mbak Mirah sudah berganti baju menari persis yang ada di lukisan itu.

“Jadi belajar menarinya, dik?” Tanya mbak Mirah.

“Iya.. Iya.. Mbak. Iya.” Kataku gugup.

“Kamu lihat dulu ya gerakan mbak.” Kata mbak Mirah.

Mbak Mirah mulai menari mengikuti iringan degung. Kulihat mbak Mirah menari seperti tari jaipong.

Dengan gerakan yang sangat enerjik, pinggulnya bergoyang kesana kemari, dengan gerakan tangannya sambil sesekali membuang sampur dan kaki mbak Mirah membuat posisi tanjak (yaitu posisi badan merendah, ibu jari kaki kanan sedikit terangkat dan jari yang lain tetap menempel di lantai). Sesekali Mbak Mirah menggoyangkan pundaknya naik turun.

Tiba-tiba mbak Mirah membuka ikatan selendang yang ada di pinggangnya, lalu mengalungkan selendang di leherku. Aku terkejut tapi kulihat wajah mbak Mirah tersenyum sambil mengangguk. Sepertinya mbak Mirah mengajakku menari. Aku mengikuti gerakan yang dilakukan mbak Mirah. Walaupun gerakanku tidak sebagus mbak Mirah, namun aku berusaha semampuku mengikuti gerakan mbak Mirah. Aku keluarkan gerak-gerak Tariku seperti yang diajarkan guru tariku di Jakarta.

Tak beberapa lama, musik itu kemudian berhenti. Kudengar Mbak Mirah berkata, “Gerakanmu sudah cukup bagus, Cantika. Namun, kamu harus terus berlatih supaya gerakanmu sempurna.”

“Betul, mbak? Mbak mau kan mengajariku lagi?” Tanyaku memastikan.

Mbak Mirah mengangguk kemudian berkata, “Sekarang sudah hampir maghrib. Sebaiknya kamu cepat pulang.”

Terdengar suara guruh keras sekali. Hari ini akan hujan tampaknya.

“Kau harus cepat pulang!” Mbak Mirah mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya.

“Engkau harus cepat berlari sebelum hujan turun. Jangan sesekali menengok ke belakang ya, Cantika!” Kata mbak Mirah.

Aku terkejut dengan ucapan mbak Mirah yang terakhir. Aku hanya mengiyakan perkataan mbak Mirah dan segera berlari keluar halaman menuju jalan. Lariku kupercepat lagi agar aku cepat sampai di rumah.

Setibanya aku di depan rumah, hujan turun deras sekali. Kulihat ibu sedang menungguku di depan pintu.

“Dari mana saja kamu, Cantika?” Tanya ibu.

“Aku habis berlatih menari, bu.” Kataku.

“Berlatih menari dengan siapa?” ibu bertanya dengan nada bingung.

“Nanti akan aku jelaskan. Sekarang aku lapar bu.”

“Yasudah, sekarang ganti bajumu setelah itu kamu makan.” Perintah ibu.

“Sip, bu.” Kataku bersemangat.

#############

Sang Penari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang