"Bro!" Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya pelan.

Sambil mengelus dadanya, Ridho menoyor kepala Khikam pelan. "Kampret lo! Bisa jantungan gue."

Umpatan Ridho hanya dihadiahi cengiran khasnya Khikam. "Maaf, Bro. Gue mendapat amanah dari mama buat ngejaga lo. Takut nggak kekontrol gitu."

Ridho hanya mencibir saja. Tentu ia tidak sebodoh itu sampai memiliki niat merusak acara sakral ini. Pria itu tahu kalau Wafa adalah sumber kebahagiaan Nada, tidak peduli bagaimana situasinya. Dan inilah wujud rasa sayangnya pada Nada—membiarkan gadis itu dipersunting oleh pria lain.

Demi kebahagiaan Nada, tentu aku harus melapangkan dada, itu yang berulang kali diucapnya dalam hati. Bohong jika di relung sana ada sebilah pisau yang seolah menyayatnya tanpa ampun. Tapi apalah daya? Takdir sekali lagi tidak berpihak padanya.

"Gue nggak sebodoh itu, Kham. Gue sudah mengetahui isi hati Nada sejak awal bertemu dulu," ujar Ridho pelan, tepat sebelum Wafa mengucapkan ijab qobul.

***

"Ridho, mama sama kumpul sama teman-teman sekolah dulu, ya?" ujar Zia dengan raut berbinar.

Wajah Ridho pias. Tentu sebuah pesta—walau sesederhana apa pun tak pernah ia sukai. Keramaian menjadi hal teratas yang paling ia hindari, kecuali keadaan darurat. Dan ini menjadi salah satu momen darurat itu. Seharusnya ia membiarkan kedua orangtuanya berangkat lebih dulu. Kalau sudah begini bagaimana?"

"Tapi, Ma—"

"Kamu pulang duluan saja nggak apa-apa. Nanti biar mama sama papa naik taksi atau nebeng teman mama."

Ridho bernapas lega saat mendengar sang ibu mengalah.

"Tapi ... kamu harus salaman dulu sama pengantinnya sebelum pulang!"

Baru saja Ridho merasa lega, syarat yang diajukan sang ibu kembali mencekiknya.

"Ma, Ridh—"

"Nggak sopan, Ridho! Paling tidak, jangan putuskan silaturahmi," potong Zia lagi, cepat.

"Baiklah, Ma." Ridho beringsut ke antrean pelaminan dengan wajah tertekuk. Ia sangat menyesal menyuruh Khikam segera pergi setelah akad nikah selesai. Tentu lebih baik ia menyalami pengantin di pelaminan bersama teman daripada seorang diri.

Ridho berjalan pelan mengikuti alur antrean. Hingar-bingar tawa di depannya sungguh menulikan telinga. Ah ... Ridho benar-benar ingin cepat pulang dan segera tertidur di kasurnya.

"Nempel terus, kayak perangko!" Tibalah ia di atas pelaminan, masih menggu antrean.

"Idih... apaan sih?" sewot Nada membuat tamu lainnya tertawa

Sosok tadi memeluk Nada lama, terlihat begitu bersyukur atas pernikahan ini.

"Selamat ya, Nad... akhirnya netas juga," ucap sosok itu sembrono membuat Ridho melebarkan mata tak percaya. Astaga, netas? Dikira ayam kali, ya?

Demi kesejahteraan bersama, Ridho memilih melipat kedua tangannya di dada sambil menatap interaksi antara Nada dan makhluk aneh itu datar.

"Netas? Astaghfirullah... bahasamu, Risa!" geram Nada pelan. "Habis ini aku mendoakanmu agar lekas menetas," lanjutnya membalikkan ucapan sosok itu.

Tunggu! Namanya Risa? Sepertinya bukan nama yang asing! Kewaspadaan Ridho meningkat lebih tinggi dari sebelumnya walau raut itu masih sama.

Gadis bermata lentik itu tertawa keras, mengabaikan para undangan yang sudah antre di belakangnya. "Lekas menetas? Sama siapa, masalahnya!" jawab Risa berkelakar.

"Itu," Kali ini sang mempelai pria menjawab pertanyaan Risa sambil menuding ke arahnya.

Gadis itu segera menoleh ke belakang dan tersentak saat melihat Ridho sudah menunggu giliran untuk bersalaman sambil melipat tangannya di dada. Risa langsung menatap Nada horor dan berbisik padanya, entah apa yang dibicarakan.

Tiba-tiba Nada tersenyum licik, lalu mengalihkan pandangannya ke Ridho. "Mas Ridho! Ini lho, Risa sudah nungguin buat foto bareng sama Mas."

Risa mendelik pada Nada sekali lagi. "Nada!"

Kemudian Wafa dan Nada pun tertawa keras membalas ejekan Risa.

Walau itu bermaksud mengejek, tapi entah kenapa bibirnya ikut tertawa geli melihat sikap gadis itu. Ya, Ridho tahu siapa gadis bernama Risa tersebut. Ia salah satu rekan kerja Nada yang cukup dekat. Dan tentu Ridho tahu benar bagaimana mata berbinar gadis itu saat berjumpa dengannya pertama kali. Walau terkesan genit, sikap malu-malunya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak berpengalaman.

"Kalau mau foto bareng, harusnya pakai baju pasangan. Ini nggak pakai baju pasangan, jadi nggak boleh foto bareng," sahut Ridho dengan suara rendah.

Nada dan Wafa kembali tertawa mendengar jawaban Ridho. Tentu jika Khikam ada, ia akan menjadi bulan-bulanan pria gila itu. Dan ia hanya bisa menyembunyikan rona merahnya akibat ejekan kedua mempelai.

To Be Continued


Senyuman PalsuWhere stories live. Discover now