Enam

122 12 0
                                    

Sinar mentari pagi kali ini terbit begitu cerah di ufuk timur. Ridho yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya bisa mengernyitkan mata kala siraman mentari menghujam mata teduhnya. Ia mengusap lembut wajah manisnya dengan handuk sambil berjalan menuju lemari. Hari memang cerah, tapi tentu Ridho bukanlah pria yang cukup kuat untuk menerima kenyataan bahwa pagi ini Nada resmi dipersunting calon suaminya, Wafa. Ada beberapa hal yang membuat hatinya seperti dipaksa untuk baik-baik saja, salah satunya karena hubungan ibunya dan Rani—ibu Nada. Keduanya berteman akrab sejak dulu, dan ia tidak mungkin menghancurkan hubungan tersebut hanya karena perasaan konyolnya.

"Ridho, Mama berangkat ke tempat Nada dulu, ya? Sudah hampir jam tujuh nih," pamit sang ibu yang mencondongkan tubuhnya dari balik pintu.

"Bareng Ridho sekalian saja, Ma. Ridho bentar lagi selesai kok," jawab Ridho halus sambil mengancingkan koko putihnya.

Zia membuka pintu kamar sang anak lebar-lebar, lalu menatap mata teduh Ridho lembut. Ada secercah harapan di sana. Harapan untuk tidak tersakiti.

"Kamu yakin mau datang ke akadnya Nada?"

Ridho mengangguk, lalu beralih ke cermin untuk menyisiri rambutnya yang setengah basah.

"Dho, Mama pah—"

"Tenang, Ma, Ridho nggak berniat melakukan apa pun. Nada sudah memilih dan untuk menghargainya, tentu Ridho harus datang dan merestui mereka," potong pria itu cepat saat tahu pemikiran sang ibu.

Perlahan, semburat senyum haru itu muncul dari wajah sang ibu. Ridho dengan mata sayunya ikut tersenyum lalu memeluk ibunya.

"Ridho masih punya mama dan papa, misal kesepian kan Ridho tinggal minta adek sama mama dan papa," usilnya bermaksud menggoda sang ibu.

"Hush, kamu ini!"

"Ya kan Ridho sudah bilang dari kemarin-kemarin, hamil saja lagi, kalau mama sama papa kesepian. Kan lebih cepat dan mudah," lanjut Ridho yang segera dihadiahi pelototan tajam dari sang ibu.

"Jangan sampai ya papamu dengar! Mama bisa habis malam ini kalau papa dengar ucapanmu itu."

"Dengar apa, Ma?" Tahu-tahu Reza muncul dari balik pintu mengejutkan sepasang ibu dan anak yang sedang bercengkrama.

Ridho diam-diam tersenyum simpul, "Ini, Pa, Ridho ingin sekali punya adek. Bikinin satu, ya? Cewek!"

Reza melongo di tempatnya, membiarkan Ridho berlalu ke mobilnya yang berada di halaman. "Bukankah seharusnya papa yang menagih cucu ke dia? Kenapa malah anak gemblung itu yang minta?"

"Sudah, Pa, nggak usah didengarkan! Ayo, keburu mulai akad nikahnya." Zia segera menyusul sang anak setelah menjawab ucapan sang suami.

"E-eh, tapi kalau mau bikin anak lagi papa masih mau kok, Ma," tambah Reza sambil mengejar sang istri yang sudah bersiap dengan gamis batiknya yang serasi dengan miliknya.

***

Ridho sudah duduk rapi di ruang akad, pun dengan mempelai pria hari ini—Wafa. Bibirnya tersenyum memerhatikan detail dekorasi pernikahan Nada hari ini. Pernikahan yang seharusnya miliknya jika saja masa lalu tidak menghantui Nada. Bibir itu semakin tersenyum saat mengingat betapa bodohnya ia beberapa waktu lalu. Masalah keluarga Nada memang cukup pelik dan menyedihkan, tapi tentu Ridho tidak perlu bersikap arogan, kan?

Di saat sedang menyelami kebodohannya seorang diri, pembawa acara akad hari ini sudah mulai berbicara. Ridho segera fokus pada acara inti pada hari itu. Terlihat Wafa dengan setelan jas hitam sudah duduk di depan Dandi—ayah Nada, penghulu, dan para saksi. Sedang Nada—selaku mempelai wanita sedang menunggu prosesi akad selesai di kamarnya.

Senyuman PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang