Empat

653 30 5
                                    

Mulmed : visualisasi Risa Atalea

Suasana kantor percetakan yang dipimpin Ridho terlihat ramai di pagi ini. Begitu juga dengan Ridho yang sibuk ke sana ke mari untuk mengawasi secara langsung cara kerja pegawainya. Jam sudah menunjukkan setengah sembilan pagi, itu pertanda kesibukan tiap divisi semakin ketat. Bahkan beberapa kali Ridho harus menegur pegawai yang terkesan banyak pikiran berimbas pada tugas mereka yang sedikit mengalami kesalahan.

"Kan sudah saya bilang, kerja ya kerja. Jangan campur adukkan pekerjaan dengan urusan pribadi, Ubay. Lihat ini coba... tulisannya numpuk, Bay. Kalau memang kondisimu lelah dan banyak pikiran, mending istirahat dulu deh!" Ridho melayangkan protes saat mendapati ada beberapa cetakan yang tulisannya terlihat menumpuk dan tak sedap dipandang mata. Bikin sakit kepala kalau dibaca terus menerus.

"Maaf, Mas Ridho. Saya kepikiran istri saya yang susah makan karena kehamilannya."

Ridho merangkul ringan pundak Ubay. "Begini, Bay. Hamil di trimester awal itu wajar kalau susah makan. Kalau kata ibu saya, itu memang bawaan dari bayinya. Entah itu tahayul atau memang ada ilmunya, saya nggak tahu. Tapi coba dipikir, kalau terlalu dikhawatirkan bukankah kau yang sakit nantinya? Apa justru kau tak kasihan dengan istrimu kalau harus mengurusimu juga?" Ridho berpetuah.

Ubay pun mengangguk paham. Walau Ridho belum berkeluarga, tapi usianya lebih tua dua tahun dari Ubay. Selain itu, petuah Ridho cukup masuk akal dan akan dipikirkannya setelah ini. Benar adanya kalau ia harus bertahan demi menemani istrinya berjuang melawan mual.

"Kau bisa mengulanginya lagi. Setelah istirahat nanti, pulanglah. Temani istrimu ke dokter," tambah Ridho sambil menepuk pundak pria itu pelan.

"Iya, Mas. Terima kasih banyak!"

Ridho mengangguk, memilih untuk kembali ke ruangannya. Ah... ia jadi rindu seseorang. Apa boleh ia merindukan seorang gadis yang belum menjadi mahramnya? Entahlah, cinta seolah datang tanpa permisi dan meletup-letup di saat yang tidak tepat. Oh cinta... apakah ini adil bagi Ridho? Mencintai seorang gadis walau tahu ia sudah memilih pria lain?

Ah... gadis itu sedang apa, ya? Apa sedang mengajar? Apakah aku akan mengganggu kalau menghubunginya barang sebentar? Hati Ridho berperang. Ia beringsut ke sana ke mari dengan ponsel berada dalam genggaman.

"Telepon saja kali, ya?"

Ridho mencari nama Nada di kontak ponselnya, tersenyum kala nama itu seolah bercahaya. Gilakah Ridho? Mungkin saja. Dalam dunia percintaan tidak ada hal yang tak mungkin.

Nada sambung itu berbunyi monoton, membuat jantung pria itu semakin berdegup kencang. Duh... Gusti! Sepertinya kasmasaran itu benar-benar mengubah Ridho menjadi pria alay.

"Assalamu'alaikum, Nad," sapa seseorang di seberang sana sopan.

"Wa'alaikumsalam." Suara seorang pria menjawab salamnya. Ridho pun melepas ponsel dari telinga untuk sekedar mengecek nomor Nada.

Benar, kok... lalu kenapa yang menjawab seorang pria? Apakah Nada kena jambret? Atau kah...? Ridho berspekulasi dalam diam. Pria itu menggigil membayangkan hal yang tidak-tidak.

"Maaf, apa benar ini nomor ponselnya Nada?" Dengan hati-hati pria itu bertanya.

"Benar. Nada pingsan di tempat kerjanya dan kebetulan saya adalah teman sekolahnya di menengah atas dulu."

Teman? Teman? Apakah ia salah satu teman yang memiliki perasaan pada Nada? Ataukah... pria ini adalah orang yang dilihatnya saat kencan kemarin? Jujur, Ridho benar-benar bingung sekaligus linglung. Ia tak akan patah hati secepat ini, kan?

Senyuman PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang