Tiga

628 36 7
                                    

Gambar mulmed : visualisasi Nada Razani

Adzan Ashar terdengar saling bersautan. Pria itu melirik jam dinding yang ada di ruangannya. Sudah pukul tiga. Ia meregangkan tubuhnya sejenak, lalu bangkit menuju musholla.

Hari ini ia mengenakan kemeja hitam pas badan dan juga jeans panjang. Tak ada yang berbeda memang, hanya saja bibirnya selalu menyunggingkan senyum. Pria itu dari pagi sudah mengumbar senyum gulali yang menjadi daya tariknya. Berkali-kali pula ia menengok jam dinding hanya untuk melihat waktu, seolah tak sabar ingin segera beranjak dari kursi dan pergi menemui janji kencan yang telah diatur sang ibu.

Ridho yang dulu, bukanlah sosok pria yang mudah diatur untuk urusan cinta, tapi entahlah... tiga hari yang lalu, saat ibunya menyodorkan ponsel dan memamerkan sosok gadis yang digadang-gadang akan menjadi calon mantunya itu membuat pikirannya berubah. Ia hanya merasa, bahwa sudah saatnya ia kembali, menyembuhkan luka yang menganga dan meningkatkan gairah asmaranya.

Ia bukan Khikam yang selalu memiliki gandengan di setiap kesempatan. Tapi Ridho yakin satu hal, bahwa ia menyukai gadis itu sekali pandang. Walau hanya di foto.

"Mau ke mana, Dho?" Khikam menyusul Ridho yang bersiap mengambil wudhu.

"Sholat."

Khikam menoyor kepala Ridho pelan. "Bukan itu maksud gue, Oncom!" sungutnya.

"Lalu?" tanya Ridho setelah selesai mengambil air wudhu.

"Habis ini lo mau ke mana? Gue perhatiin dari pagi, senyum lo itu... mencurigakan!" tuduh Khikam juga ikut mengambil air wudhu.

"Kenapa? Nggak boleh? Apa cemburu?" tanya Ridho sambil menaik-naikkan alisnya, menggoda.

"Amit-amit jabang bayi, Dho!" Khikam mengetuk kepalanya pelan. "Gue masih waras, normal, dan sehat. Lo jangan khawatir!"

Ridho terkekeh, lalu segera masuk ke musholla untuk menunaikan wajib empat rakaat. Memanjatkan doa pada Sang Maha Esa. Setelah selesai, Ridho lagi-lagi melirik arloji yang bertengger di pergelangan tangan kiri. Mengapa ia merasa waktu berjalan lambat? Mengapa pukul lima sore terasa sangat lama?

"Gue perhatiin sejak siang tadi, sering banget sih ngelirik jam? Tumben?" Khikam yang sudah selesai sholat ikut terduduk di samping Ridho.

"Lo perhatian amat sama gue, Kam." Ridho cengengesan. "Gue terharu," lanjutnya, sok menghayati.

Khikam memutar matanya, kesal. Ia bertanya seperti ini bukan tanpa alasan, mengingat perilaku sahabatnya itu terlihat berbeda. Bahkan ia nyaris bergidik ngeri melihat senyuman Ridho yang diumbar sejak pagi, pada karyawan. Ridho bukan sosok orang yang dingin, tapi juga tak begitu ramah. Sedang sajalah. Ia mengumbar senyumnya hanya pada konsumen atau pelanggan yang datang padanya. Jarang sekali ia bermanis ria sepanjang hari seperti ini.

"Gue dijodohin sama nyokap, Kam."

Khikam tersedak air liurnya sendiri. Terbatuk-batuk hingga dadanya terasa sesak. Tak menyangka kalimat laknat itu muncul dari bibir Ridho.

"Di... uhuk... jodohin?" Masih dengan batuknya, Khikam bertanya.

Ridho mendesis pelan, sambil menepuk-nepuk punggung Khikam agar sakitnya segera reda. "Yaelah... denger gue mau dijodohin aja syoknya sampe begini, Kam! Saking sayangnya ya sama gue?"

"Slompret lo!" sungut Khikam masih kesal sambil menepuk-nepuk dadanya yang masih terasa sakit. "Sama siapa? Cantik kagak?"

Ridho mencibir pelan. "Cantik itu relatif, Kam. Karena gue carinya ISTRI, bukan DAYANG! Jadinya gue cari yang benar-benar baik,"sahutnya, menekankan kata istri dan dayang untuk menyindir Khikam.

Senyuman PalsuWhere stories live. Discover now