Lima

159 9 0
                                    

Hubungan asmara Ridho terakhir kali memang sudah terlampau lama. Pria itu masih mengingat detail bagaimana hubungannya yang begitu menyenangkan malah mengharu biru. Ia mengusap wajahnya kasar. Tentu kejadian itu tidak boleh terulang lagi, bukan? Kisah yang sebenarnya ingin sekali Ridho lupakan tetapi belum pernah bisa beranjak barang sedikit pun dari memorinya yang tajam. Andai gadis itu tahu bahwa usahanya selama ini begitu keras, tentu ia tidak akan mengambil keputusan serupa. Dewi Nurmala.

Termenung sendirian di balkon kamarnya seorang diri memang terlihat sangat mengenaskan. Terlebih saat sebuah bayangan melintas di matanya. Bohong jika Ridho tak mengenali sosok itu. Lebih dari empat tahun mereka mengenyam pahit-manisnya pacaran, tentu tak semudah itu ia melupakan. Bahkan ketika mata mereka tak sengaja bertemu—akibat mata sang gadis yang suka berpendar, membuat Ridho mematung seketika.

"Dew...," lirihnya, nyaris tanpa suara.

Seolah tahu apa yang diucapkan Ridho, gadis itu tersenyum simpul lalu melanjutkan langkahnya tak memedulikan pilu yang dirasakan sosok pria yang termenung di jendela.

Hendak kaki Ridho melangkah untuk mengejar sosok itu, Zia—sang ibu sudah tersenyum hangat di pintu kamar.

"Ada apa, Nak?"

Ridho menggaruk tengkuknya, lalu menghela napas keras dan memilih duduk di kasur bersprei abu-abu miliknya. "Bukan apa-apa, Ma. Ridho hanya sedang mengingat masa lalu," jujurnya pilu.

"Dewi?"

Ridho mendongak menatap sang ibu, lalu mengangguk pelan tak mau berkomentar.

"Mama tahu kalau dia baru pindah dari Makassar beberapa minggu yang lalu. Kau sudah bertemu dengannya?"

Ridho mengangguk lagi.

Zia mendekati sang anak, lalu dirangkul putra semata wayangnya dengan sayang. "Allah lebih tahu mana yang baik dan buruk, Nak. Bukan mama tidak suka dengannya. Tapi akhir dari hubungan kalian tentu sudah menjadi jawaban bagimu dan mama."

Ridho menunduk, memilih beringsut untuk memeluk sang ibu. Sudah lama rasanya ia tidak bermanja-manja pada Zia. Ridho nyaris saja melupakan harum tubuh sang ibu jika hari ini tidak pernah ada.

"Bagaimana jika Ridho ditakdirkan tidak memiliki jodoh, Ma?" tanya lelaki itu dengan raut sedih. "Mengingat banyaknya gadis yang selalu memutuskan untuk menjauh dari Ridho," lanjutnya memberi penjelasan.

Zia terkekeh pelan, tangan lembutnya mengacak rambut sang anak gemas. Ridho masih tetap menjadi putra kecilnya yang menggemaskan, tak peduli berapa usianya saat ini. Di mata Zia, Ridho tetaplah putranya yang butuh tuntunan.

"Anak mama tertampan, tentu Allah tidak menyia-nyiakannya, bukan? Kau lelaki tampan, mandiri, taat beragama, berbakri pada orangtua. Apalagi? Ini hanya masalah waktu, Nak. Jangan berkecil hati. Siapa tahu Allah menyimpan sosok wanita terbaik untukmu."

Perlahan senyum itu terbit dari bibir Ridho. "Aaaamiiiin, Ma."

Zia mengacak rambut Ridho sekali lagi. "Sudah, mandi sana! Setelah ini kita makan siang."

"Iya, Ma."

***

Minggu siang kali ini teriknya lebih meyengat dari biasanya. Khikam yang suka keluyuran dengan motor, kali ini memilih menggunakan mobil untuk bertemu seseorang di Starbucks Paragon Semarang. Setelan casual andalannya sudah siap untuk memporakporandakan hati para gadis. Berbekal seadanya, Khikam turun dari mobil bergegas menuju ke tempat janjian.

"Khikam!" Seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan.

Senyum memesona Khikam langsung terbit melihat seseorang yang memanggilnya. "Woah, sudah datang saja lo!" Ia memeluk sosok itu lalu segera duduk di kursi kosong lainnya.

Senyuman PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang