Skenario Kehidupan

Start from the beginning
                                    

Aku menganggukkan kepalaku dan segera meraih khimar instanku. Belum lama ini, aku sudah membuat keputusan, mengenakan khimar dengan sesungguhnya, bukan hanya saat menghadiri pengajian atau acara-acara keagamaan saja. Keputusan ini sebenarnya terlambat aku ambil. Karena keputusan ini ku ambil setelah kepergian Bang Raihan. Aku menyesal, karena sedari dulu memang inilah permintaannya. Dan aku baru merealisasikannya setelah dia pergi. Lagi-lagi penyesalan memang terlalu sepemalu itu sampai datang terlambat.

"Oh ya, Kak. Nanti Kakak jangan kaget, ya."

"Kaget kenapa?" tanyaku.

"Soalnya ada sepupuku yang lagi berkunjung ke sini. Dan rencananya juga mau menginap. Jadi Kakak jangan kaget kalo ada orang asing di meja makan."

"Ck. Kakak kira ada apa. Dasar."

Aku mengacak pelan khimar instannya membuat Asiyah terkikik geli. Remaja satu ini memang sudah sangat dekat dengan ku. Itulah sebabnya kami sudah terbiasa saling melontarkan guyonan.

Dan benar saja, saat ini di meja makan, lebih tepatnya di seberang tempatku duduk, sudah ada seorang pemuda dengan baju takwanya yang berwarna abu-abu. Sejenak kami bertatapan, sebelum akhirnya aku memutuskan kontak mata itu dan mulai fokus pada makananku.

Kami makan dengan suasana hening, karena itulah peraturan di rumah ini.

Selesai makan, aku pamit undur diri dan kembali lagi ke kamar yang hampir seminggu ini ku tempati. Namun, merasa bosan, aku kembali menuju halaman belakang dan duduk ditepi kolam. Menyaksikan ikan mas yang sudah tenang, tidak lagi beriak berebut makanan.

Angin malam berhembus, menusuk persendian. Tapi aku tetap abai. Biarkan saja alam seakan menyakitiku. Karena ada kesakitan yang jauh lebih sakit dari itu. Aku sudah merasa kebal.

"Udara malam tidak baik untuk kesehatan, terlebih di sini udaranya sangat dingin."

Aku masih setia dengan gemingku, saat suara asing itu menggelitik gendang telingaku.

Merasa di abaikan, seseorang itu duduk ditepi kolam sepertiku, dengan jarak yang membentang.

"Sejak saya sampai di sini, saya perhatikan kamu sering melamun di dekat kolam ini. Kenapa?"

"Bukan urusanmu," ucapku dengan lirih.

"Saya cuma mau mengingatkan, waktumu terlalu berharga jika hanya kamu lalui dengan sia-sia seperti ini. Lebih baik, kamu isi waktumu itu dengan hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya, tadarus misalnya?"

"Siapa kamu sampai berani menceramahiku?" ucapku sengit.

"Bukan maksud saya menceramahimu. Sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan mu."

"Terimakasih telah mengingatkan."

Setelah mengatakan itu, aku berdiri dan mulai melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam rumah. Mood ku bertambah hancur saat dia menceramahiku. Memangnya siapa dia? Kenal juga tidak, tapi berani-beraninya menceramahiku.

"Matamu cantik."

Aku menghentikan langkahku saat lelaki itu kembali membuka suaranya.

"Tapi sayang, binar itu tidak ada di sana. Dan izinkan saya untuk mengembalikan binar itu kembali di matamu."

Tenggorokanku tercekat. Aku sulit meraup oksigen. Bagaimana bisa? Seseorang yang belum genap dua puluh empat jam bertemu denganku bahkan aku belum tahu namanya tiba-tiba menyatakan niatnya itu secara gamblang?

Apa, apa itu bisa dikatakan sebagai lamaran?

Ah, tidak..., tidak. Aku terlalu jauh jika sampai berpikir seperti itu. Bisa saja, maksudnya itu ingin menjadi teman ku, atau apapun yang lainnya kecuali lamaran. Yah, aku yakin itu.

Dengan persendian yang sedikit kaku, aku memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahku tanpa sedikitpun menoleh padanya. Biarkan malam ini berjalan sewajarnya, sesederhana alurnya, dan sesederhana mentari yang siaga untuk menggantikan rembulan.

🍑🍑🍑

Jazakallah Khair yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita saya :)

TBC

Ciamis, 04 November 2018

Senandung RasaWhere stories live. Discover now