Romantika 11

471 44 5
                                    

Tugas terakhir untuk mencintaimu adalah tidak memikirkan kamu lagi.

*

"Cantik."

"Iya?"

"Cantik sekali."

*

Aku menghapus air mataku. Membaca surat resign yang aku tulis malam ini benar-benar membuat hatiku terluka. Keluar dari perusahaan Mas Veron adalah hal yang masih ingin aku perpanjang. Tapi... Melihat Mbak Vanilla koma di Rumah Sakit, melihat Mas Veron dipukul oleh Roma, membuat aku merasa sangat-sangat bersalah.

Mbak Vanilla adalah aku saat bersama Anugrah dulu. Seharusnya aku lebih memahami perasaan Mbak Vanilla--meski memang aku bukan siapa-siapa di antara mereka.

"Udah! Gak apa-apa, Cantik! Ini keputusan yang baik. Nanti akan ada pekerjaan yang jauh lebih baik lagi di depan sana untuk kamu." Aku berusaha meyakinkan diri meski lagi-lagi, air mataku jatuh kembali.

Ah... Ternyata bukan masalah resign saja yang membuat ku menangis. Akan tetapi, sikap Roma yang tiba-tiba berubah dingin dan terlihat tidak peduli kepadaku, membuatku patah untuk kali kedua.

Mungkinkah aku hampir menyerahkan hati itu untuk kamu, Roma?

Menghapus air mata lagi, aku berdiri--beranjak pergi ke kamar mandi. Aku berusaha untuk mencuci wajah supaya lebih segar. Menegaskan pada diri sendiri bahwa hal ini benar-benar langkah terakhir.

Mungkin, tidak akan ada lagi Mas Raka yang jago men-download film terbaru yang masih tayang di Bioskop. Tidak ada hotspot gratis dari Bu Listy. Tidak ada lagi Mas Veron yang sering memberi nasihat dan sudut pandang baru. Bekerja di sana, adalah pengalaman hebat yang tidak akan terlupakan.

"Jangan nangis terus, dong! Habis ini pakai skincare, jangan bakar uang terus, Cantik!"

Tapi, bahkan saat purnama mulai naik ke atas langit, dan hari semakin malam. Hanya cara kamu mengabaikanku yang masih mendominasi seluruh isi kepalaku. Menimbulkan banyak pikiran negatif yang bersarang di sana, dan membuatku tidak bisa tidur dengan tenang.

Roma... Kemarin aku patah. Sampai akhirnya kamu datang. Benar ternyata, kamu hanya ingin bersenang-senang. Bahkan saat aku merindukan kehangatan yang selalu kau tawarkan, kamu membekukan diri, hingga tanganku tersiksa dengan pilu saat menyentuhmu.

*

"Sebelumnya, saya ingin minta maaf untuk sikap Vanilla ke kamu kemarin."

Tidak fokus pada Mas Veron, mataku justru melirik ke kursi di sudut ruang, memperhatikan Roma yang entah sejak kapan ada di sana. Tadi, memang pria itu tidak datang ke ruanganku dan teman-teman yang lain. Padahal biasanya Roma selalu mampir tiap kali datang.

Tapi, sikap Roma pada Mbak Vanilla membuatku harus memendam perasaan itu kembali. Aku yakin, sesuatu pasti terjadi di antara mereka berdua. Tapi, siapa Roma sebenarnya?

"Dan, Can... Saya minta maaf. Ini bukan sepenuhnya keinginan saya. Tapi, saya dengan sangat-sangat terpaksa harus melepaskan kamu."

Aku kembali menatap Mas Vernon, lalu mengangguk dengan mantap.

"Mas Veron nggak perlu sungkan." Aku menyerahkan amplop coklat yang kubawa sejak tadi. "Tadinya saya ingin mengundurkan diri, tapi Mas Veron buru-buru manggil."

"Saya minta maaf. Ini benar-benar bukan menyangkut tentang pekerjaan kamu. Saya tahu kamu punya dua adik yang harus kamu tanggung, punya orangtua di luar kota. Selama bekerja di sini, kamu tidak pernah merugikan perusahaan. Kamu cepat tanggap dalam menangkap pekerjaan, absen kamu bagus, dan saya suka dengan karakter kamu."

"Terimakasih, Mas Veron."

Mas Veron membuka amplop coklat dariku, lalu membaca dengan sekilas. Di saat itu, aku melirik kembali ke arah Roma. Pria itu masih mengawasi Veron tanpa peduli akan aku yang di sini. Mungkin, memang bagi Roma kemarin bukan apa-apa. Sekarang bahkan ia tidak peduli akan keberadaanku di sini.

"Kamu mau pulang ke Yogyakarta?"

"Rumah saya kan di Bogor. Tapi, ya. Nanti saya akan mencari pekerjaan di Jogja."

Veron menganggukkan kepala. "Di sana, saya tidak punya koneksi. Kalau kamu mau geser ke Semarang atau Surabaya, mungkin saya bisa bantu kamu."

"O? Ah... Nggak perlu repot-repot, Mas. Justru nggak enak kalau dapat pekerjaan karena orang dalam. Resign dari sini merupakan keinginan saya sendiri, kok. Nanti di tempat baru, ada banyak goals yang ingin saya capai."

"Adek-adek kamu?"

"Haha... Mas Veron, beban hidup saya nggak seberat itu... Uang asuransi papa meninggal, dipakai mama saya untuk mendirikan supermarket. Jadi, saya resign tidak akan berpengaruh apa-apa buat mereka. Karena saya bekerja untuk diri sendiri. Dan mama saya nggak suka kalau lihat saya kerepotan di sini karena membiayai mereka."

Mas Veron mengangguk, dengan air wajah yang merasa sangat bersalah. Padahal ini tidak benar-benar melukainya, kan? Mas Veron bisa rekrut karyawan baru yang pasti, banyak yang jauh lebih baik dari pada aku.

"Tapi, Mas. Tolong bantu ganti rugi motor saya yang rodanya dikempesin Pak Roma."

"Iya. Nanti saya belikan motor baru untuk kamu."

"Eh, nggak perlu. Mak--maksudnya tuh, tolong suruh orang buat antar ke bengkel saja."

"Roma kamu percaya? Bukan roda saja yang dikempesin. Saya khawatir dengan keselamatan kamu. Pilih warna apa? Nanti sore saya kirim vespa matic-nya."

Aku jadi canggung. Mas Veron mulai melantur.

"Motor saya 'kan, motor miss queen, Mas."

"Iya tahu. Kamu kira saya nggak tahu akun twitter kamu? Berdoa terus minta vespa matic sama Tuhan. Nanti biar saya bantu Tuhan beliin. Kan nggak mungkin, Tuhan jatuhin dari Langit."

"Tap."

"Nggak ada tapi. Saya bukan mau bantu kamu, kok. Kan saya mau bantu Tuhan biar kamu nggak cerewet lagi."

Setelah urusan di AC selesai, aku memutuskan untuk pulang dan istirahat. Besok aku harus mempersiapkan barang-barang untuk pindah kota. Ah, bukan. Bukan Yogyakarta yang aku tuju. Tentu aku mengatakan hal itu karena ada di hadapan Roma. Roma tidak boleh menemui dan mempermainkan aku meski itu satu kali lagi.

Dan goals yang ingin aku capai adalah...

Move on.

Pergi sejauh mungkin dari kehidupan Roma.

So... This is goodbye? Selamat tinggal, Roma... Mengenalmu adalah satu hal terbaik yang pernah aku punya.

.

.

RomantikaWhere stories live. Discover now