Kebenaran Kedua Tiga

3.5K 340 93
                                    

Kebenaran Kedua Tiga

Happy Readingo

"Maafkan aku. Maaf."

Aria menatap Frey dengan kekecewaan yang tidak ia tutupi. Tubuhnya terasa lemah, sehingga membuat dia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. "K..kenapa?" Tanya Aria lirih dengan suara gemetar menahan isakan. "Kenapa kalian melakukan ini?"

Frey menunduk, tidak mau menatap Aria yang terlihat lemah. "Maaf."

Aria langsung menoleh, menatap Frey dengan marah, "Maaf? Kenapa kau harus minta maaf jika kau melakukannya dengan sengaja? Kenapa kau bisa semudah itu bersedih padahal aku yang disakiti di sini?! Kenapa... kenapa.. hikss.." isakan Aria menghentikan semua ucapan yang akan dikeluarkannya. Dengan tubuh yang terasa lemas, Aria bangkit dan mendekati Frey.

"Jika kau ingin kumaafkan, lakukan satu hal untukku." Lirih Aria pelan. Matanya menatap sendu kearah Frey, seolah-olah meminta pertolongan kepada pemilik mata kelam itu.

"Apa?" balas Frey pelan. Seulas senyum kecil ia tunjukkan kepada Aria, untuk meyakinkan gadis itu bahwa dia rela melakukan apapun demi sebuah kata maaf darinya.

"Aku mencintaimu, tapi kau menghina perasaanku dengan menipuku. Kumohon, matilah untukku."

***

"Dan begitulah kisah cinta seorang Aria Vermillion." Erliza menyesap tehnya perlahan. Matanya masih menatap gadis di hadapannya. "Bukankah itu kisah yang sangat tragis?"

"Kau mengirimku kesini, memisahkanku dengan timku hanya untuk membicarakan hal ini?" desis Aria jengkel. Melihat kembali masa lalunya membuat Aria sangat bernafsu untuk mencabik-cabik tubuh Erliza sekarang.

"Kau yakin mereka adalah timmu? Pria dengan rambut dan netra hitam yang sama persis dengan Frey dan bahkan masa lalunya pun sangat hitam –suram–. Seorang gadis yang sangat mirip dengan teman pertamamu di sini yang juga pernah mengkhianatimu. Pria datar, dingin dan aneh yang sekarang menghilang entah kemana, atau mungkin telah dibunuh. Dan seorang pria pendatang yang mengaku kenal dengan kekasihmu."

"Felix bukan kekasihku," sela Aria. Aria tidak pernah membayangkan bahwa sosok yang menjebaknya dalam game aneh ini merupakan sosok yang sangat cerewet dan suka mencampuri urusan orang lain.

Erliza mengangkat bahu acuh. Tidak memedulikan perkataan Aria sama sekali. "Baiklah. Lupakan saja hal itu. Sekarang, mari kita masuk ke intinya saja. Apa yang ingin kau tanyakan?"

Aria menegakkan badannya. Berusaha duduk senyaman mungkin mengingat pembicaraan ini akan sangat panjang. "Kenapa kau membawaku ke mari?" Aria langsung langsung bertanya pertanyaan yang paling membuatnya penasaran.

"Karena kau dikirim ke sekolah ini."

"Siapa? Dan kenapa aku? Aku tidak melakukan apapun,"

"Ayahmu. Dia mengirimmu kemari karena dia ingin melakukannya." Jawab Erliza santai, tidak peduli bahwa kebenaran yang dia ucapkan memberikan dampak yang hebat untuk Aria.

"Ayahku? Bagaimana bisa dia mengetahui game konyol ini?" desis Aria pelan. Aura mematikan terasa pekat di udara sekitarnya. Merasa dia dibohongi dan dipermainkan oleh Erliza. Ayahnya tidak mungkin melakukan hal tersebut..

Erliza menatap Aria remeh, "Game yang katamu konyol ini adalah ide ayahmu."

"Bagaimana bisa?" Ya, bagaimana bisa ayahnya yang hanyalah seorang pebisnis mengetahui permainan tidak bermoral ini. Ayahnya bahkan sangat khawatir jika dirinya terluka, lalu mana mungkin ayahnya mengirim dia ke tempat yang bisa membuatnya terluka setiap saat.

"Tentu saja bisa. Tidak ada yang tidak bisa di tempat ini." Sahut Erliza santai. Tidak peduli bahwa jawabannya yang menjengkelkan membuat Aria geram. "Bahkan sepasang kekasih bisa saling membunuh di tempat ini."

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa hubungan ayahku dengan semua ini. Aku ingin mengetahui rinciannya." Desis Aria menuntut penjelasan dari Erliza.

"Kau bisa memikirkannya sendiri. Seorang Ayah yang bisa dengan mudahnya mengirim anaknya ke tempat rehabilitasi. Bukankah itu aneh?" Erliza malah menjawab pertanyaan Aria dengan pertanyaan lain.

"Karena aku dijebak. Aku dituduh melakukan pembunuhan oleh seorang pria tua dan saat aku dikirim ke psikiater, psikiater itu juga menjebakku. Entah dia mengatakan apa pada ayahku hingga ayahku mengirimku kemari. Dan aku yakin, orang yang menjebakku itu adalah pionmu."

"Nah, mari kita hubungkan segalanya." Seru Erliza cepat. Seolah-olah dia sedang diajak bermain teka-teki oleh temannya. "Kau dituduh membunuh oleh seorang kakek tua, kalau begitu kenapa ayahmu tidak memanggil polisi untuk menyelidikinya?" Erliza berpura-pura menampilkan raut heran, padahal seringai di wajahnya sangat lebar.

Aria terdiam memikirkan perkataan Erliza. saat logikanya menerima kebenaran yang ada, wajahnya langsung pucat pasi. Kekecewaan menyelimuti dirinya. "Tapi kenapa? Ayahku menyayangiku, kenapa dia melakukan ini?" lirih Aria merasa terpukul.

"Kau sudah pernah membunuh orang, ingat? Dan ayahmu tentu saja mengetahui hal itu. Kau pikir bagaimana bisa kau melupakan pembunuhan yang kau lakukan sendiri? Tentu saja ayahmu mengirimmu ke psikiater untuk melakukan hipnotis padamu. Agar kau melupakan masa lalumu." Erliza tersenyum puas melihat Aria yang tampak pucat. Dengan anggun dia berdiri dan melangkah meninggalkan Aria seorang diri.

"Kau sudah tahu bukan? Kalau begitu, mari kita lanjutkan game ini."

°To be Continue°

19 Maret 2017 ©

Psycho GameWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu