[12] Luka lama

204 56 11
                                    

Aku memijat pelipisku. Pening. Itu yang aku rasakan saat ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat aku benar-benar tak ingin lagi melihat wajahnya dan sudah melupakannya secara tuntas.

Aku baru sadar, saat tadi aku mendengar suaranya ternyata aku telah menggali memoriku terlalu dalam sehingga aku harus mulai menguburnya kembali.

Sial, ternyata dampaknya masih sama. Menghancurkanku. Itukah yang ia mau setelah menghilang dan kemudian datang kembali seakan semuanya baik-baik saja?

Aku tidak ingin tau tentang perasaanya, apakah ia masih mencintaiku atau tidak, aku tidak peduli. Aku tidak peduli sama sekali.

Kenyataannya adalah ia menyakitiku dulu, disaat aku baru saja keluar dari rumah sakit dan dinyatakan buta. Awalnya kami baik-baik saja dan Tante Liz juga mendukung kami. Namun disaat aku membutuhkannya, ia tidak ada. Ia menghilang.

Ia bilang, aku mempermalukannya. Aku yang buta ini, membuat teman-temannya mengejeknya. Setelah itu, ia pergi dari hadapanku.

Sejak itu, aku memantapkan hatiku untuk membunuh perasaanku padanya. Butuh satu tahun lamanya, sebelum akhirnya aku bertemu Calum di sekolah. Sebelum aku buta, aku pernah melihatnya tapi enggan menyapa karena ia selalu bersama Jessie.

"Kak!" teriak Sam saat aku masuk kedalam rumah.

"Ada apa?" tanyaku mengelus puncak kepalanya. "Calum tadi telpon."

Aku terhenyak sesaat, menyadarkan diriku jikalau beberapa menitku yang lalu ku habiskan memikirkan Luke.

Sial, sial, sial.

"Umm, ya." jawabku gugup. "bisa bantu aku menelponnya?" tanyaku.

Setelahnya, dengan suara nada sambung ditelingaku. Akhirnya suara bariton itu kudengar lagi, bukan suara malaikat yang tadi kutemui di rumah sakit.

"Halo."

"Uh, hey." aku menggigit bibirku, takut-takut salah bicara.

"Gimana tadi? pendonornya jadi?"

"Fine. Iya, aku operasi dua hari lagi!" teriakku dengan nada super senang.

"YEY!" teriaknya balik. "Boo, aku boleh ikut kan?"

"Ck, boleh lah." kataku sewot.

"Wedew, galak kali dikau." katanya bercanda. "maaf ya tadi-"

"Gapapa, oke?" kataku memotong omongannya cepat. "aku kan ditemenin ibu tadi."

Kudengar ia bergumam, lalu ku beranikan diriku untuk membahas ia yang menjenguk Jessie.

"Calum?"

"Ya?"

"Ku dengar, kau menjenguk Jessie ya?"

Hening. Namun aku berdeham yang mana membuatnya menjawab.

"Y-ya. Aku menjaganya karena orang tuanya sudah mempercayakanku disini. Sedangkan mereka di luar kota." katanya. "aku minta maaf juga untuk itu, aku lupa memberi tau mu, Boo."

Aku menelan ludahku saat mendengar suaranya yang tegas, seakan menegaskan bila ia hanya menjaganya bukan sedang berselingkuh bersama Jessie disana.

Okay, sepertinya aku yang keterlaluan karena berfikir Calum akan melakukan hal seburuk itu.

"Maaf,"

"Gaperlu." katanya. "Itu tandanya kamu cemburu, dan cemburu itu bagus loh!" katanya senang.

"Apanya yang bagus?" keningku mengernyit.

"Bagus, karena dengan itu aku tau kalo kamu selama ini mikirin aku!"

What the fuck?!

"Haha, ketauan kan lo!" teriaknya lagi. "ngaku kalo dari tadi mikirin aku."

"Iya elah, puas lo?!" kataku kesal.

"Utututu sayang, malu ni yeee."

KURANG AJAR!

"Cal, aaah!" kesalku. "males ah."

"Iya iya! yaudah, udah ya. Aku laper mau nyari gorengan dulu."

"Ya, dahh."

Dasar Calum gila, di telepon saja bisa membuatku memerah belum lagi jantungku yang berdebar-debar saat mendengar suaranya. Dia memang kurang ajar anaknya, membuat jantungku bekerja dua kali lebih cepat.

Aku memutuskan untuk membuat teh hangat sebelum duduk di sofa bersama Sam.

"SAMMY!" teriakku dari dapur. "MAU TEH GAK!"

"MAU!" balasnya berteriak dari ruang tv.

Aku akhirnya membuat dua teh hangat. Kali ini, aku hanya berdua dengan Sam, sedangkan ibu pergi ke rumah temannya untuk arisan, mungkin.

Aku membawa teh itu ke ruang tv dan memberikan Sam tehnya.

"Makasih." katanya antusias lalu langsung menyeruput teh itu. Aku mengangguk dan juga menikmati tehku.

Tubuhku ku senderkan ke sofa, lalu pikiranku melayang ke pirang itu.

Mau apa dia kembali?

Membuat luka baru untukku kah?

Atau ingin membuka luka yang lama?

Karena terlalu asik melamun, aku sampai tidak mendengar dering telepon rumah.

"Sam." colekku padanya. "angkat."

Ia mendengus lalu bangkit dan mengangkat telepon.

"Kak." panggilnya pelan. Ada apa dengan bocah ini?

"Luke." katanya. "nelpon."

Dan dengan itu, aku tau kalau ia berniat membuka luka lamaku.

+ + +
:-)

Clichè : Calum [on hold]Where stories live. Discover now